Kamis, 13 Maret 2014

APATIS RIA: Tentang Partisipasi dan Sikap Tak Acuh



                Seperti ada yang salah?
                “Apatis ria” adalah tema yang telah banyak dibicarakan. Namun rupa-rupanya mungkin ada yang salah? Apakah esensi dari kata tersebut? Ataukah penggunaan kata tersebut? Tidak ingin mengawalinya dengan sebuah kutipan, tetapi ini penting—mengingat kita selalu suka dengan hal-hal yang esensi.
Apatis diartikan sebagai sikap acuh tak acuh, sikap seseorang yang tidak peduli karena tidak memiliki passion terhadap sesuatu. Tetapi apakah apatis selalu berarti sikap tak acuh terhadap isu sosial? Sebentar, lantas isu sosial yang seperti apa? Hari ini kita hidup dengan sejuta informasi yang less and meaning less. Rasa-rasanya sekarang semua bisa menjadi isu sosial jika menjadi trending topic?
                Sebelum menulis ini saya juga bertanya sekaligus berkaca pada diri sendiri, apakah saya (anak muda Indonesia) yang bersikap apatis? Kemudian muncul pertanyaan lainnya, memang indikator apa saja yang dapat menyatakan bahwa saya (anak muda Indonesia) yang peduli terhadap isu sosial? Ah…kita bertemu pada siklus pertanyaan yang tak habis-habis.

Peduli apa?
                “Iya! Gue rasa anak muda sekarang apatis, Tan.” Jawab seorang teman ketika saya melakukan survey kecil-kecilan sebelum menulis ini. “Udah nggak peduli lagi sama isu-isu yang ada di TV gitu deh. Bosen. Dan nggak penting juga, mending seneng-seneng aja deh hidup.” Tambah segelintir alasan lagi yang memperkuat jawaban bahwa anak muda sekarang apatis.
Kalau begitu, haruskah anak muda melakukan hal-hal berbau sosial agar tidak disebut apatis? Hari ini kita hidup dimana target-target pekerjaan lebih penting dari sekedar ikut acara diskusi dan berpikir untuk memajukan bangsa. Hari ini kita hidup dengan jalanan macet sebagai teman setia untuk berkomepetisi dalam berbagai hal. Boro-boro ingat persoalan bangsa, menjalani hidup saja sudah lelah. Namun seringkali secara tidak sadar kita selalu terbentur masalah rasionalitas. Seringkali kita memilih “yang mana yang penting”, dan “yang mana yang tidak penting” untuk hidup kita sendiri. Inilah yang dimaksud Franz Magnis Suseno dalam papernya “Globalisasi dan Kearifan Lokal” yang menyatakan bahwa tantangan globalisasi ialah “pendangkalan” orang. Dengan sosial media tujuannya orang menjadi pencitraan diri dalam arti bahwa ia semakin hanya menikmati atau memprihatinkan bagaimana ia “kelihatan”. Orang-orang dibuat menjadi sibuk memikirkan diri sendiri hanya karena ingin dianggap “ada”. Akhirnya globalisasi, menurut Habermas, bukan menjadi sebuah pemberdayaan yang memajukan, namun justru memperlemah dan rentan untuk dimanipulasi. Membuat kita hanya fokus pada komentar-komentar singkat di sosial media tanpa berusaha membentuk karakter yang pada nyatanya justru lebih penting.
Tetapi pendapat teman saya di atas itu, dan juga cerita-cerita malasnya orang mengikuti seminar atau diskusi kebangsaan—pasti adalah karena alasan. Sederhana saja, kita menjadi skeptis dengan pemerintah. Kita terlalu lelah mendengar kata “korupsi” di kotak 14 inchi kita itu. Sehingga akhirnya kita fokus pada bagaimana hidup kita harus berjalan. Maka pertemuan generasi muda dengan globalisasi sebenarnya tidak melulu hal negatif. Seperti yang dikatakan Habermas, globalisasi dengan segala kecanggihan teknologi-nya membuat kita terfokus pada apa yang harus kita lakukan. Tidak lagi mengadakan debat kusir, apalagi turun ke jalan untuk tawuran atau saling membunuh karena perbedaan pendapat. Belum lagi apabila kita melihat beragamnya komunitas yang dibentuk anak-anak muda kini mulai bermunculan, apakah masih generasi muda saat ini pantas dibilang apatis? Kita masih memiliki banyak anak muda yang tak perlu mengumbar di jejaring sosial, tetapi sangat peduli dengan bangsa ini dengan caranya masing-masing. Kalau begitu, apatis juga bukan berarti karena kita tidak ikut berpartisipasi.
Disinilah poin diskusi kita. Dosen saya pernah menulis tentang persoalan konsep partisipasi yang menggeser dalam sistem demokrasi, tentunya ini di Indonesia. Dalam tulisannya itu ia menyimpulkan bahwa kita yang sering dikatakan sebagai tokoh utama dalam demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” justru tidak pernah peduli. Kita hanya memenuhi bilik-bilik pemilu untuk memilih calon pemimpin, namun tidak pernah ikut mengkontrol dan mengkritisi sikap dan kebijakan yang dibuat pemerintah. Inilah yang saya rasa mengapa muncul kesimpulan bahwa, generasi muda saat ini apatis. Kita seperti tak cinta pada bangsanya sendiri karena kita rela membiarkan orang-orang besar dan berkuasa di sana menghancurkan bangsa ini. Kita hanya sibuk sendiri dengan “pengakuan sosial” supaya dianggap ada dan hadir. Kita tidak pernah benar-benar serius peduli dalam membentuk karakter bangsa.

Lalui Peluang dan Tantangan
Lantas harus berbuat apa?
Saya ingin memulai bagian ini dengan satu contoh kecil. Misalnya saja ketika kita sedang berada di angkutan umum dan melihat seorang anak membuang kulit pisang sembarangan ke jalan. Kita tidak memberitahunya secara baik-baik, namun malah asik sendiri tak peduli karena merasa, “yang penting bukan anak saya.” Bukankah itu juga bentuk sikap  tak acuh? Sementara kita baru saja me-retweet kata-kata mutiara di Twitter yang esensinya adalah tentang “kepedulian”. Sungguh kita terlalu terlena hidup di dalam dunia maya.
Saya rasa yang harus menjadi fokus kita sebagai generasi penerus saat ini ialah betuk integritas yang tinggi. Integritas memang tak berwujud fisik, tetapi ia merupakan satu-satunya untuk melalui tantangan dari ketidakpedulian persoalan bangsa ini. Anak muda tak harus melulu membuat diskusi setiap waktu untuk menyatakan kepedulian. Tetapi dapat melakukan segala pekerjaan masing-masing dengan integritas demi terciptanya karakter bangsa lah yang membantu membentuk karakter. Anda boleh menjadi tukang pisang goreng, tetapi dengan integritas Anda tidak akan menggoreng pisang itu dengan sembarangan. Itulah yang saya maksud bahwa karakter itu penting. Itu lah yang saya rasa satu-satunya cara untuk membuat kita peduli pada bangsa ini.
Terakhir, saya begitu takut saya menulis ini hanya karena ingin menunjukkan saya “ada”. Saya takut menjadi menjadi apatis ketika tulisan-tulisan yang berwarna semangat perubahan hanya menjadi dokumentasi, lantas sikap tak acuh tetap menjadi pembahasan yang tak habis-habis, dan hanya berakhir pada sekadar topik diskusi-diskusi klise.

Video dari BRNDLS yang satu ini, saya rasa dapat mewakili apa yang saya rasa, dan semoga semua anak muda Indonesia-yang disebut sebagai anak muda paling emas yang dimiliki Bangsa ini-dapat merubahnya dari kerakusan.

BRNDLS (Feat. Mourgue Vanguard) - ABRASI



Ditulis untuk Pamflet http://pamflet.or.id/blog/apatis-ria-tentang-partisipasi-dan-sikap-tak-acuh

Jumat, 13 Desember 2013

Menyulam 2013





                Mengawali tulisan ini sebenarnya serba rumit. Isi kepala dan isi di dada berlomba mencari perhatian. Semuanya merupakan kontempelasi dari quartet life crisis yang saya alami. Mungkin menjadi tampak klise karena kalimat tersebut sudah mulai digunakan oleh banyak orang—yang terkadang maknanya kabur dan seketika menjadi menye-menye nyerempet jadi curhatan. Namun akhirnya memang begitulah mungkin makna dari quartet life crisis. Bagi Nisa Rahmanti[1], setiap orang (khususnya perempuan) diumur 20-an, pastinya mengalami krisis ¼ ini. Kompleksitas yang saya alami pasti dialami juga oleh banyak orang, maka sering kita ucapkan, “njrit…gue banget!”. Sejujurnya file dengan judul quartet life crisis di laptop saya sudah menumpuk hingga 5-7 file. Apabila saya buka dan baca kembali, padahal isinya sekitar 3 sampai 10 paragraf saja. Keseluruhan merupakan luapan emosi yang entah mau dibuang kemana, dan (semoga) lebih baik diluapkan ke dalam tulisan.
                Melanjuti perjalanan tahun sebelumnya, 2013 masih saya jalani dengan penuh keraguan. Berlayar di 21 saya rasa krisis ini dimulai sejak Juni 2012 lalu. Mengapa Juni? Karena pada Juni itulah zona nyaman hidup saya sirna. Indikatornya bisa dilihat dari bulan Juni adalah update terakhir tulisan di blog saya. Mengapa menjadi indikator? Rupa-rupa-nya krisis keraguan, krisis kepercayaan, krisis percaya diri, dan segala ketakutan yang berakar tersebut membuat mahluk ini hanya habis dimakan ketakutan dan tidak berdaya melakukan hal apa-apa. Bahkan untuk sekedar mengisi laman di blog pribadi.
                Dibalik itu saya menyadari bahwa ada prasangka yang kuat, ia muncul dari ketakutan, ia ada di dalam bawah sadar yang hidup, ia berkuasa, ia ada dalam diri ini, dan ia begitu kuat bagi realitas.

Karena 2012 adalah “Koma”

                April, 2012, saya berhasil menamatkan kuliah tingkat pertama dengan penuh haru. Mengingat perjuangan yang tak sendiri, sebab keluarga selalu berada di belakang saya menjadi motivasi terbesar. Dengan penuh dorongan dalam hati bahwa kini giliran saya yang harus membuat mereka bahagia. “Bahagia” saat itu bagi saya adalah dapat membelikan sebuah mobil bagi keluarga.
Selama kuliah diantar jemput oleh Ayah, kami telah terbiasa menyeimbangkan tubuh di motor, menyalip diantara sela-sela kendaraan roda empat yang mewah di sepanjang jalan Pondok Indah. Di sepanjang jalan itulah saya slalu yakin akan dapat membelikan salah satu mobil yang kami salip setiap hari itu.
Tetapi keinginan punya mobil perlahan di ambang keraguan. Ini karena pola pikir saya berubah. Tahap pertama: Pasca lulus sidang, saya dan teman-teman sering berkumpul, bercerita dan memikirkan jalan hidup selanjutnya masing-masing. Kelulusan ini menjadi semacam helaan nafas bagi kami. Pikir kami, perjalanan hidup yang ke-20 tahun merupakan akhir dari “keperihatinan” akan hidup. Bayangan dapat membeli ini dan itu sesuka hati sudah di depan mata. Tapi.. Oh, itu mungkin bagi mereka, bukan saya. Ketika teman-teman telah memiliki tekad akan bekerja di bank, industri otomotif, financial consultation, etc etc—saya justru masih menyimpan keinginan untuk menjadi penulis. Penulis apa? Pikir saya dalam hati. Masih belum tahu. Ketika saya menginginkannya, ketika itu juga saya meragukannya.
Selepas wisuda, entah ada angin apa, tiba-tiba saja dosen saya meminta saya untuk bergabung di kampus alamamater. Tetapi saya harus mengakui, bukan dunia menulis akademik yang sebenarnya saya mau. Saya ingin menulis dibidang seni. Saya ingin menyelami seni hidup. Singkatnya tidak mau menulis serius semacam peneliti. 3,5 tahun sudah cukup rasanya menyelami Ilmu Hubungan Internasional (HI).
Tetapi ketika mama tahu bahwa saya ditawari S2, ia pun memberi semangat yang sangat besar. Maklum, menjadi guru baginya adalah pekerjaan yang mulia. Dosen. Profesi yang prestige. Tapi di Indonesia? Masih kalah prestige  dengan Olga Syahputra dan kawan-kawan Dahsyat. Diperhatikan caleg? Boro-boro, para dosen dan peneliti justru harus mengamini jargon, “Dunia akademik uangnya kecil”. Lucunya stigma yang muncul ialah “Dosen adalah pekerjaan yang mulia sehinga tidak apa penghasilan kecil”. Stigma itu bagi saya menjadi semacam pewajaran dari negara ini. Bayangkan saja mereka hanya memberikan 0,4% dari APBN bagi perkembangan penelitian—padahal kata RI-1, “Tekhnologi dan penelitian adalah penunjang utama bagi kemajuan bangsa”. Ahahaa tuan omong kosong! Memang, di negeri leberaless ini kita harus paham bahwa Professor gajinya kalah dengan pengelola gedung mall. Lihat saja gedung LIPI yang kusam dan berhantu itu. Coba bandingkan dengan gedung-gedung mall. Oiya, yang penting, kan, mulia, yah.
Itulah pikiran marah saya terhadap sebuah kenyataan yang harus dihadapi di negeri budak ini. Pada tahap kedua inilah juga alasan mengapa saya membenci realita yang memaksakan beli mobil hanya untuk mendongkrang life style. Imbasnya? Rasa benci tapi butuh jadi tarik menarik. Faktor yang terlihat “sepele” itu justru menjadi faktor besar mengapa tawaran S2 ini menjadi sebuah oase bagi saya. Mungkinkah dengan menjadi dosen adalah jalan hidup yang baik bagi kebahagiaan dan kepuasaan raga dan batin saya?

Menyulam Pertanda
Paradoks. Manusia memiliki unsur kompleks tersebut. Saya membenci orang-orang kaya penuh kepalsuan tapi ketika disodorkan hidup sederhana saya harus berpikir ulang. Merasa bosan dengan semua jalan berat yang sudah saya lalui. Tapi saya pun tidak ingin menjadi agen-agen asing dengan slogan-slogan motivasi suksenya. Saya harus membiayai adik-adik saya, memberangkatkan mama naik haji, membangun rumah idaman. Tapi tidak ingin menjadi kaya tanpa berkarya dan hanya menjadi pegawai membosankan setiap hari. Saya tau harus kaya, dan karenanya saya meragukan tawaran itu. Intuisi saya hingga saat ini berbisik bahwa tawaran tersebut tidak bisa membuat saya menjadi…. Tapi……

Maka dalam proses menentukan memilih itu terlalu banyak tapi.
Di tengah itu saya mulai mengumpulkan pertanda-pertanda yang datang.  Ini lucu. Saya menjahit pertanda tersebut satu per-satu. Menyulamnya “semau” saya. Tentu. Ini sungguh-sungguh semau saya.  Tebang pilih apa yang harus saya percaya, baik atau buruknya pertanda tersebut, semau saya.
Tapi….

Tapi lagi.

Akhirnya saya merasa perlu bertanya kepada yang paling tinggi: Allah SWT melalui kitab suci yang diturunkannya.
               
Al-Qur’an itu saya genggam erat pada sepertiga malam. Dengan iman, malam itu saya shalat istikharah bermaksud bertanya pada Sang Pencipta akan sebuah pilihan yang ada di depan mata. Setelah shalat, saya membuka satu lembar kitab suci tersebut dengan mata tertutup tanda pasrah dengan ayat yang akan saya lihat. Saya membiarkan telunjuk menunjuk satu ayat. Jari itu bergerak tanpa tujuan, kemudian perlahan saya membuka mata. Saya membacanya: “Hendaklah tuntut Ilmu….”. Saat itu juga saya menterjemahkan ayat tersebut dengan arti “Menuntut ilmu = Kuliah”. Apakah itu pertanda saya harus mengambil tawaran kuliah tersebut?. Sungguh masih sebuah tanda tanya besar—

Namun tak sampai disitu tekad saya langsung bulat. Walau sudah bertanya pada yang Maha Kuasa tetap saja saya ragu. Ego saya menginginkannya {Siapa yang tak mau dijanjikan akan dapat kesempatan bersekolah lagi?), akan tetapi hati ini menolak. Dada itu masih penuh dengan gemuruh akan keraguan. Saya bertanya banyak hal pada orang tua dan teman-teman, tetapi tak juga menemukan jawaban yang pasti. Hanya saja saya merasa jalan tawaran ini begitu mulus seperti kulit wajah para sosialita. Terutamanya pendapat orang-orang terdekat saya yang hampir 80% mendukung saya untuk mengambil tawaran tersebut. Bahkan Mama menjadi tolak ukur bahwa pilihan ini akan menjadi benar.
Di titik itulah saya mengambil kesimpulan bahwa jalan ini mungkin sudah direncanakan oleh Tuhan. Maka itulah sepenggal proses mengapa akhirnya saya jatuh pada pilihan mengambil tawaran tersebut. Pekerjaan yang akhirnya saya pilih dengan setengah hati. Masih sering mengeluh setiap harinya. Dimulai dari bangun tidur hingga bersiap tidur dan tak lupa mimpi buruk. Ketakutan itu bagai ribuan atom yang menggelitik hatimu dan mengeliat di jantungmu.  Jeleknya lagi keluhan disetiap saya melakukan sesuatu pada setiap detiknya. Saya menjadi sangat cengeng!

Tetapi setengah hati tidaklah selalu buruk apabila kita sadar bahwa “kini” tetap harus dijalani.
Tentang masa kini saya selalu teringat ‘Karna’. Teater yang digarap Goenawan Mohammad itu mengajarkan bahwa kita hidup di masa kini, artinya masa lalu tidaklah boleh menjadi hambatan, dan masa depan masih panjang maka janganlah takut sebab yang harus kita jalani adalah yang kini, dan kini akan membangun yang depan. Oh maaf teman, namun apalah artinya motivasi-motivasi semua itu jika setengah hati saya selalu mengeluh.

Ketidakpercayaan itu membuat saya ingin mati.

Prasangka yang Membunuh mu, Bukan Realita
Awal 2013 saya berada dalam satu petak kostan. Dengan gaji di bawah UMR Jakarta, saya harus bertahan di setiap recehnya. Membeli momogi setidaknya membuat otak saya meleleh saat itu. Kesendirian di kosan itu yang membuat saya sering melamun. Macam orang bego. Terkadang saya ketakutan, terkadang ketawa sendiri. Kalau lagi sadar, saya pikir ini juga lucu.
Sangat lucu.
Ketika saya menyesal atas pilihan yang saya ambil, saya menyalahkan semua pertanda-pertanda itu dan menyalahkan…maaf, Tuhan. Mencaci mengapa harus mengikuti semua pertanda itu. Mengapa saya mengabaikan suara hati yang ragu karena suaranya sangat kecil dan akhirnya dihiraukan begitu saja. Haha ini lucu. Sebab seharusnya saya marah pada diri saya sendiri. Saya lah yang menyulam semua pertanda itu sesuka saya. Menerobos segala keraguan. Memaksakan percaya akan kemulusan-kemulusan pertanda itu.
Di sini akhirnya saya tersadar bahwa apa pun itu pertanda yang datang, tetaplah yang menentukan diri kita sendiri, kita yang merangkai dan menyulamnya. Betap bodohnya manusia sering menyalahkan nasib karna salah memilih jalan. Ketika susah menyalahkan agama dan Tuhan. Menyalahkan orang lain. Padahal apapun yang dijalani adalah apa yang diyakini dan dipilih.

Hukum Tarik
Dan lagi, ketika sampai pada lamunan yang dalam, saya teringat….
                Jauh sebelum masuk kuliah—yaitu sejak mulai suka menulis, saya sering membayangkan hidup saya sulit. Saya menginginkan fase-fase tersebut agar saya dapat berkarya. Tergelitik dalam lamunan itu. Teringat pada pertanyaan saya pada teman-teman di Formspring (http://formspring.me/tanyamutia). Setelah membaca tulisan Melancholia of Happines, saya langsung bertanya, “Lebih memilih hidup bahagia tetapi tak berkarya, atau tak bahagia tapi dapat berkarya?”. Kemudian ada seorang teman memberi pertanyaan yang sama kepada saya. Dan saya menjawabnya, “Sejak membaca cerita Laskar Pelangi, gatau kenapa gue pengen hidup gue nggak gampang. Gue pengen penuh dengan tantangan, dan mungkin dengan itu gue bisa berkarya”. Ini lucu. Seringkali saya memikirkan bahwa tahun-tahun seperempat krisis saya dimakan habis oleh kesulitan. Dan semua ini untuk satu impian: menjadi penulis yang kaya akan rasa di hidup ini.
Saya baru tersadar ketika perut saya lapar dalam kesendirian, bahwa selama ini ada yang berbisik tapi saya menghiraukannya. Ia adalah hati. Saat itu ia bilang bahwa jangan diambil, jangan berambisi, saya begitu takut jika saya menjadi perempuan yang angkuh jika saya menjalani hidup ini terlalu berat. Dan segala ketakutan itu justru membawa kepada satu keinginan saya.
Sore itu menjadi fase dimana saya nggak suka disebut pemikir. Kepala saya sakit. Saya ingin melakukannya dibawah alam pikiran, tapi karena saya telah menulis ini—saya tahu, saya telah menyadarinya. Semua ini karena teori. Saya sangat amat membenci teori.
               
                Siapa?
Saya tidak tahu siapa menentukan siapa. Takdir yang menentukan saya bertemu dengan Al-Qur’an. Atau diri ini yang bergerak karna keyakinan. Atau memang saya dan Al-Qur’an digerakkan oleh yang Maha Kuasa, atau oleh (apa yang kita sebut dengan) Semesta, atau oleh rahasia kehidupan yang sulit kita jawab.
Tapi dari situ saya menyadari bahwa manusia dan isi di dalamnya memiliki kekuatan yang luar biasa. Aku dan prasangkaku. Aku dan kepercayaanku. Aku dan ketakutanku. Sungguh luar biasa. So, the biggest enemy is ourselves. Ia yang sering menghantui hati kita. Merajuk dan meragu.
Ketika saya menyadari ini, apa yang saya lihat ialah manusia dengan Tuhannya. Tuhannya ada di dalam dirinya. Maka benarlah bahwa pepatah bahwa orang yang telah mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya. Memancarkannya ke dalam setiap tindakan. 

2013 merupakan tahun dimana aku mengenal diriku lebih dalam. Semua yang terjadi justru membuat ku mengerti perjalanan spiritual seperti apa yang kumau. Hidup seperti apa yang kumau.



[1] Nisa Rahmanti (Icha) adalah Penulis Novel Best Seller berjudulCintapuccino”

Joyland Festival 2013 Hari Pertama: Piknik Berkualitas Sajian Musisi Lokal



Sudah diprediksi. Memasuki pintu Timur Senayan jalan-jalan telah dipenuhi berbagai umbul-umbul acara yang berbeda. Macet di pintu masuk dan keluar akhirnya harus dilalui untuk sampai Senayan Swimming Stadium. Walau begitu, Taman Krida Loka telah dipenuhi penonton yang beberapa diantaranya duduk dan berdiri di pohon-pohon besar. Bau tanah dan rumput juga gempulan asap rokok yang sesekali menghampiri wajah membuat kita akan mengamini bahwa suasana ini terasa seperti piknik musik.

Menarik sekali melihat penonton menjinjing tikar bergantian dari Stage A ke Stage B, dan begitupun sebaliknya. Dengan setting piknik seperti ini, penonton yang berdiri dapat dengan jelas melihat pertunjukan di panggung yang berukuran rendah, sebab para penonton yang memiliki picnic set dapat duduk memenuhi muka panggung. Ketika berpindah dari Stage A ke Stage B, ataupun sebaliknya, pengunjung juga dapat menikmati makanan dan pemutaran film dengan tempat duduk nyaman yang telah disediakan.

Selepas istirahat maghrib, Stage A sudah dipenuhi penonton yang siap menyaksikan penampilan White Shoes and The Couples Company. Paduan kostum warna warni Nona Sari dan kawan-kawan, dipadu dengan cahaya panggung yang ‘pas’ mengikuti alunan musik—membuat crowd tak henti menggoyangkan tubuhnya, walau sekedar menganggukkan kepala. “Super Reuni” menjadi lagu pembuka yang dilanjutkan dengan urutan lagu “Pelan Tapi Pasti”, “Roman Ketiga” dan “Today Is Not Sunda”.



Penampilan mereka dijeda dengan cuplikan film “Ambisi (1973)” yang sudah sering ditampilkan di beberapa panggung. Inti film-nya bercerita mengenai demokrasi dan setelahnya dilanjutkan dengan lagu “Aksi Kucing” terasa menjadi seperti OST film tersebut adalah kombinasi yang epik. WSTACC melanjutkan penampilannya dengan membawakan lagu berurutan: “Kampus Kemarau”, “Selangkah”, “Top Star”, dan dua lagu terakhir yang diambil dari album Menyanyikan Lagu-Lagu Daerah yakni: “Lembe-Lembe” dan “Tam-Tam Buku. 

"Joyland adalah sebuah festival yang menjadi ajang bagi beberapa band untuk memperkenalkan karyanya"—jargon tersebut sepertinya dapat diamini oleh Banda Neira. Band duo yang muncul akhir 2012 ini mulai dikenal lewat media sosial. Diisi oleh Ananda Badudu dengan gitarnya dan Rara Sekar dengan xylpon-nya yang sederhana, mengundang penonton untuk segera duduk manis di Stage B dan menantikan pertunjukan mereka. Dibuka dengan lagu “Di Atas Kapal Kertas”, Banda Neira langsung ditemani crowd yang ikut bernyanyi. Begitupun lagu selanjutnya yang juga disambut dengan karaoke masal. “Kalo Subagio lihat, dia pasti senang,” ujar Ananda Badudu selepas menyanyikan lagu “Rindu” hasil musikalisasi puisi milik Subagio Sastrowardoyo.

(aaaaaaaaa akhirnyaaa nonton live Banda Neiraaa)




Untuk lagu ketiga, Rara memanggil Gardika Gigih yakni pemain pianika band Nosstress dari Bali yang menjadi salah satu band idola Banda Neira. Jadilah panggung tersebut kini diisi tiga orang menyanyikan lagu “Kita” milik Nosstress. Masih ada Gigih di panggung menemani Banda Neira untuk menyanyikan lagu ‘Hujan di Mimpi’ yang diambil dari album pertama mereka yaitu Berjalan Lebih Jauh. Pikir penonton, Banda Neira akan membawakan dua hingga tiga lagu lagi, tetapi lagu ‘Kau Keluhkan (Esok Pasti Jumpa)’ menjadi penutup penampilan mereka. “We Want more” pinta penonton hanya dibalas senyuman Rara yang tampak malu-malu. Walau hanya membawakan empat lagu—dengan interaksi sederhana, membuat siapa saja baik yang baru pertama kali melihat atau mendengar lagu-lagu Banda Neira malam itu, sudah tentu akan semakin penasaran untuk mencari banyak tahu mengenai mereka. 

Beralih ke Stage A. Seorang laki-laki dengan sayap hitam telah duduk dan siap memainkan piano. Jika ada yang menduga ia akan memainkan lagu-lagu lembut dengan tempo sangat lambat, maka dugaan tersebut salah. Pada 2012, Luky Annash telah mewarnai Joyland dan tahun ini adalah kali kedua ia membawakan lagu-lagu liar dari debut albumnya 180° yang rilis pada 2011. Walau beberapa orang tak tahu tentang albumnya, sound yang bulat, permainan piano yang atraktif, dan suara yang liar—menarik banyak penonton untuk menyaksikan penampilannya. Terbukti dengan beberapa respon penonton yang seketika suka dengan suaranya yang khas walau baru pertama kali melihat penampilannya. 

Selepas Luky Annash, tiga band berturut-turut bergantian mengisi Stage A dan Stage B. Polka Wars. Band yang telah dikenal sejak 2010 ini memainkan sejumlah lagunya seperti: “Coraline”. Selanjutnya, ada Rock N Roll Mafia yang tampil di Stage A. Setelah membawakan tiga lagu, “Velvet Morning Air”, “Blackheart”, dan “Stuck and Reverse”, komposisi “Castillo Del Arena” secara tak terduga dibawakan bersama Ade Paloh dari Sore. Tiga lagu penutup penampilan RNRM dibawakan secara berurutan, “Oblivion”, “Never Give Up”, dan “Palpilate”. 

Berlanjut ke Stage B yang mengutus Dialog Dini Hari untuk menyanyikan lagu-lagu berbau alam malam itu. Dibuka dengan lagu “Kita dan Dunia”, crowd berkaraoke masal. Sebelum melanjutkan lagu kedua, Dadang (vokalis) membuka percakapan, “Tujuannya adalah satu: Kita berpijak di tanah dan rumput yang sama malam ini. Lagu ini adalah lagu untuk mereka yang tak menghormati perbedaan.” Lagu “Aku adalah Kamu” pun dibawakan. “Pelangi” dan “Jalan Dalam Diam” menjadi dua lagu penutup penampilan mereka. 

Belum habis sisa lagu yang dibawakan Dialog Dini Hari, Stage A sudah dipenuhi penonton yang rindu dengan band asal Bekasi ini yang belakangan jarang dijumpai di panggung-panggung musik Ibukota.

Teorinya, faktor “jarang manggung” mendapat nilai plus dari segi respon pecinta musik mereka, karena tentu mereka akan datang demi melihat penampilan band tersebut. Teorinya, faktor “jarang manggung” tersebut juga mendapat nilai plus karena pada umumnya, sebuah band akan menyiapkan secara eksklusif baik itu set panggung, sound, pemilihan lagu, dsb—demi menyuguhkan penampilan spesial. Lalu bagaimana dengan The Trees and The Wild (TTATW)?




Melihat penampilan mereka malam itu, rasanya teori tersebut benar. Mungkin tak ada karaoke masal atau tak ada pula penonton yang dapat menemani mereka bernyanyi, tapi ini beralasan sebab mereka telah menghipnotis penonton dengan lagu-lagu baru milik mereka. Tanpa sedikit pun mengajak penonton berinteraksi, TTATW tampaknya hanya ingin fokus menampilkan satu set lagu tanpa henti dengan lebih banyak memainkan instrument. Lagu berjudul “Empati Tamako”, “Concetrate”, “Saija”, dan”Our Roots” dijadikan satu set tanpa jeda. Di tengah pertunjukkan mereka, sejumlah kembang api menyala mewarnai langit Taman Krida Loka. Walau entah darimana kembang api itu berasal, yang jelas suara dan warnanya justru memadukan penampilan TTATW menjadi lebih indah. 

Tepuk tangan yang panjang menutup penampilan TTATW sekaligus acara Joyland Festival hari pertama. Secara keseluruhan acara ini—dengan konsep dan line up yang dijanjikan—terbilang sukses. Maka rasanya tepat untuk mengutip bio Twitter akun Joyland Festival (@Djaksphere): Sebuah jari tengah bagi para kepada industri musik yg terasa semakin tidak peduli akan karya berkualitas – Rolling Stone. 

Versi gigsplay bisa dilihat di sini http://gigsplay.com/GigReview-detail/joyland-festival-hari-pertama-piknik-berkualitas-sajian-musisi-lokal/ 


 Foto: Nuri Arunbiarti 


-Tania-