KARNA, nampaknya telah banyak yang me-review tentang teater yang ditulis dan disutradarai oleh Goenawan Mohamad ini. Tetapi mungkin saya satu-satunya yang menulis review pertunjukkan ini dengan sangat tidak “seni”.
Ini adalah kali pertama saya melihat pertunjukkan teater empat monolog. Teater ini buat saya cukup sadis. Sedikit saja menguap tanda mengantuk, ditinggalnya kita dengan monolog demi monolog. Maka dengan mata anti kedip saya berusaha mengerti makna dari teater Karna ini.
Kawan, bagi yang belum tahu empat monolog, maksudnya disini ialah tak ada dialog langsung antara satu pemain dengan pemain yang lainnya. Melainkan, masing-masing actor mempunyai dialognya masing-masing tentang tokoh utama, yang dalam teater ini ialah: Karna. Terdiri dari lima actor yang mempunyai kotak-nya masing-masing, berbicara sendiri mengingat siapa itu Karna dimatanya. Sesekali Karna hadir menjumpai actor yang sedang mengingat Karna.
[X][X][X]
Kunthi (Niniek L. Karim) membuang bayi yang baru saja ia lahirkan ketika hari Penciptaan Bumi sedang dirayakan oleh orang-orang. Kunthi membuang anak itu karena ia malu, karena ia telah dinodai oleh Dewa Surya.
Bayi tersebut kemudian ditemukan oleh Radha (Sita Nursanti) di sungai. Radha adalah seorang Sudra, ia tentu sangat senang menemukan bayi. Maklum sudah beberapa tahun setelah ia menikah, namun hingga saat itu ia belum dikaruniai seorang anak.
Radha kemudian memberi nama bayi tersebut dengan panggilan ‘Karna’ (Sitok Srengenge).
Karna tumbuh menjadi pria yang tubuhnya gagah. Ia memang ingin mejadi seorang ksatria. Walau Radha melarangnya, namun tekad ia begitu bulat. Karna kemudian mendatangi seorang guru pria yang sudah tua untuk dilatih olehnya, ialah Parashurama (Whani Darmawan) .
Parashurama awalnya sangat menolak keras. Ia bertanya “Kamu dari kasta apa?”
Kasta.
Karna dipertanyakan tentang Kasta yang sementara ia tak tahu ia dilahirkan dari kasta apa? Tak banyak yang percaya bahwa Karna tak tahu asal-usul-nya sendiri. Parashurama memang membenci kasta Ksatria. Maka Karna berpura-pura demi diterimanya ia diperguruan Parashurama.
Dilatihnya Karna dengan Parashurama bertahun-tahun, namun kemudian satu hari sebelum Karna akan ikut dalam peperangan Barathayudha, Parashurama mendengar Karna mengigau menyebut-nyebut kasta Ksatria. Parashurama murka dan mengusir Karna. Ia bahkan tak memberikan apa yang Karna minta, yaitu satu sandi untuk peperangan ini. Karna berlalu meninggalkan Parashurama. Tanpa membawa bekal ia tetap teguh pada pendiriannya untuk ikut dalam perang Baratayudha.
Saat itu Sutikanti melihat Karna yang menentang para orang-orang dengan kasta Ksatria.
Karna mengatakan dihadapan para Ksatria,“Semua orang bisa menjadi ksatria. Tak peduli dengan masa lalu-nya, yang terpenting ialah sekarang, laku, tindakan, dan ilmu pengetahuan, dengan begitu semua dapat menjadi ksatria yang sesungguhnya. Saya ini nol, dan saya bisa menjadi awalan dari segalanya!”
Karna kemudian menantang, “Jika Anda berani, silakan lawan saya!”
Ya! Kunthi mengingat semua kejadian tersebut. Dimana Karna akhirnya berperang melawan tanpa bekal terakhir dari Parashurama.
Kunthi menangis tersedu-sedu, ia sekuat tenaga menahan lutut-nya yang gemetar. Terbayang-bayang dalam ingatannya kalimat yang Karna ucapkan kepada dirinya, “Aku tak mempunyai masa lalu, yang ku punya ialah masa sekarang.”
Dan beberapa kalimat yang membuat hatinya teriris karena diurung penyesalan, “Jika aku mati, sama saja bagi Ibu. Ibu tetap mempunyai lima anak. Namun bagi Radha, jika aku tak ada maka ia telah kehilangan anak satu-satunya ini. Begitu juga dengan Surtikanti, jika aku tak ada, ia maka akan menjadi seorang diri selamanya.”
Karna telah mati dalam peperangan Baratayudha. Ia telah meninggalkan istrinya yang cantik dan anggun, Surtikanti. Surtikanti mendapatkan surat yang ditulis oleh Karna sebelum akhirnya ia pergi kedalam peperangan tersebut.
Karna menyadarkan saya akan satu hal: Mengapa sering kali kita terhambat oleh masa lalu dan masa depan? Mengapa kita tak sadar bahwa, “identitas, asal-usul, tujuan akhir adalah tak penting, yang penting adalah sekarang dan laku!”
*PS:
Saya suka semua aktor dalam terater ini, tapi favorite saya ialah Sitok Srengenge (Karna), Whani Darmawan (Parashurama), dan Sita Nursanti (Radha). Dan yang paling mendukung dari lakon Karna ialah make up-nya. Bahkan Sita Nursanti sama sekali tak saya kenali layaknya Sita RSD yang biasa bernyanyi di TV. SALUT untuk semua yang terlibat dalam lakon KARNA.
Sedikit cerita teman. Saya ke Salihara bersama teman baru saya yaitu Raras Prawitaningrum, kenal karena kami sama-sama contributor Gigsplay. Beruntung kami mendapatkan tiket dihari terakhir dimana lakon ini dimainkan. Hari itu Wakil Presiden, Bapak Boediono juga datang bersama rombongan, sempat hectic tapi semuanya lancar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment