“We are The Yellow
Jackets” begitu symbol Universitas Indonesia (UI) yang membuat sebagian orang
(termasuk saya) sekonyong-konyong menahan hati ketika membacanya di stiker
yang ada di kaca belakang mobil-mobil di jalan-jalan, di bawah plat motor, atau
di depan pintu rumah milik mahasiswa UI. Ada rasa sesal tak
dapat menjadi bagian di dalamnya, ada rasa trauma tak lulus ujiannya, ada rasa
benci karena tak dapat menanggung bebannya. Sebagian mencaci karena
sistem UI yang kian mahal, yang kian komersil, yang kian angkuh. Namun tetap saja UI nampak cemerlang, terutama jika dideretkan dengan
Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
[x][x][x]
Apa hebatnya PTS?
Mahasiswanya pemalas. Ujian
masuk universitas pun tak ada. Materinya sesulit apa? Pengajarnya hebat? Nilai-nya
sesusah apa untuk didapatkan? Cih!
Begitu mungkin pikiran
banyak anak SMA yang pintar-pintar dan siap masuk PTN. Begitu mungkin pikiran
banyak orang tua kaya yang siap mebayar uang pangkal anaknya yang masuk PTN. Begitu
mungkin pikiran banyak orang-orang tentang PTS yang belum tekenal namanya.
Jangan dulu kesal! Tetapi
mungkin memang benar. Sebagian besar mahasiswa PTS itu pemalas, sering mabal,
ga ngerti apa-apa selain main, hanya bisa googling ketika diminta cari tugas,
hanya bisa copas ketika UAS. Sungguh saya menulis ini sembari menggelitik, saya
pernah melakukannya. Akui itu! Akui!
[x][x][x]
“Saya selalu berdoa
pada Allah agar saya diberikan kepintaran yang berbeda dari orang kebanyakan. Saya
harus melakukan perubahan. Agar kita berbeda. Agar berbeda!” Ucap
Pak Yusran dengan mata berbinar
.
Apa hebatnya FISIP Universitas
Budi Luhur 10 tahun yang lalu? Apa bagus fasilitasnya? Kini tak salah saya
membuat ini untuk menghargai usaha pak Yusran dengan segala usahanya. Kini semua terasa
lengkap. Lab yang sering disebut aquarium itu terlihat menarik dari taman. Bangku
dan meja bundarnya diduduki dengan mahasiswa-mahasiswi gagah yang siap
berdebat. Buku-buku digantikan jurnal-jurnal cadas yang siap diunduh kapan
saja.
“Nih Jurnal gratis
lagi. Masih heran sama mahasiswa yang bilang kekurangan data”. Begitu caption
link yang dibuat oleh pak Hizkia Yosie Polimpung di akun Facebook-nya.
Zaman telah berganti. Anak
HI tak lagi boleh hanya tahu teori lama. Begitu banyak dosen gila yang
sampai-sampai tak habis pikiran saya mereka makan apa? Betapa mereka pintarnya.
Sayang… banyak
mahasiswa yang tak siap. Tak siap diberi tugas sakit jiwa setiap harinya. Perjanjian
yang mengancam nilai-nilai dan masa depan.Tetapi kemudian entah karena
takut atau kesurupan, banyak yang bertengkar hanya karena beda nilai 0,2. Bertengkar
karena ia menjadi pengikut aliran ini atau aliran itu. Berbagai macam aliran itu
digembar-gemborkan via status FB. Buku, jurnal, artikel yang asing nampak menarik tapi pusing untuk dibaca--dipaksakan agar mengerti. Di wall-wall FB dipenuhi pertanyaan “Tugas
itu lo udah?”
MENYEBALKAN!
Sebentar,
tapi bukankah juga menarik untuk disimak? Betapa atmosfer kompetisi itu kini
sudah merasuki banyak mahasiswa FISIP UBL. Betapa mereka sudah mulai menikmati suasana
HI yang kaku, yang kental dengan sejarah dan kata-kata filsafat—yang kadang
ikut menulis namun tak tahu artinya.
[x][x][x]
Pada saat acara “Mahasiswa
Menggugat”, sebagian yang lain merasa bahwa, “Otak kami tak sanggup! Otak kami
tak sama dengan mahasiswa UI”. Kemudian Pak Yusran balik bertanya, “Jangan-jangan kalian yang belum siap menerima perubahan ini?
Kalian minta ini, minta itu, tapi apakah kalian sudah berubah? Kalian yang
tidak mau pintar?”
“Perubahan terkadang memang membuat sebagian orang tidak nyaman, dan sebagian lagi membuka harapan untuk masa depan yang lebih baik" - Pak Yusran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment