Kamis, 13 Maret 2014

APATIS RIA: Tentang Partisipasi dan Sikap Tak Acuh



                Seperti ada yang salah?
                “Apatis ria” adalah tema yang telah banyak dibicarakan. Namun rupa-rupanya mungkin ada yang salah? Apakah esensi dari kata tersebut? Ataukah penggunaan kata tersebut? Tidak ingin mengawalinya dengan sebuah kutipan, tetapi ini penting—mengingat kita selalu suka dengan hal-hal yang esensi.
Apatis diartikan sebagai sikap acuh tak acuh, sikap seseorang yang tidak peduli karena tidak memiliki passion terhadap sesuatu. Tetapi apakah apatis selalu berarti sikap tak acuh terhadap isu sosial? Sebentar, lantas isu sosial yang seperti apa? Hari ini kita hidup dengan sejuta informasi yang less and meaning less. Rasa-rasanya sekarang semua bisa menjadi isu sosial jika menjadi trending topic?
                Sebelum menulis ini saya juga bertanya sekaligus berkaca pada diri sendiri, apakah saya (anak muda Indonesia) yang bersikap apatis? Kemudian muncul pertanyaan lainnya, memang indikator apa saja yang dapat menyatakan bahwa saya (anak muda Indonesia) yang peduli terhadap isu sosial? Ah…kita bertemu pada siklus pertanyaan yang tak habis-habis.

Peduli apa?
                “Iya! Gue rasa anak muda sekarang apatis, Tan.” Jawab seorang teman ketika saya melakukan survey kecil-kecilan sebelum menulis ini. “Udah nggak peduli lagi sama isu-isu yang ada di TV gitu deh. Bosen. Dan nggak penting juga, mending seneng-seneng aja deh hidup.” Tambah segelintir alasan lagi yang memperkuat jawaban bahwa anak muda sekarang apatis.
Kalau begitu, haruskah anak muda melakukan hal-hal berbau sosial agar tidak disebut apatis? Hari ini kita hidup dimana target-target pekerjaan lebih penting dari sekedar ikut acara diskusi dan berpikir untuk memajukan bangsa. Hari ini kita hidup dengan jalanan macet sebagai teman setia untuk berkomepetisi dalam berbagai hal. Boro-boro ingat persoalan bangsa, menjalani hidup saja sudah lelah. Namun seringkali secara tidak sadar kita selalu terbentur masalah rasionalitas. Seringkali kita memilih “yang mana yang penting”, dan “yang mana yang tidak penting” untuk hidup kita sendiri. Inilah yang dimaksud Franz Magnis Suseno dalam papernya “Globalisasi dan Kearifan Lokal” yang menyatakan bahwa tantangan globalisasi ialah “pendangkalan” orang. Dengan sosial media tujuannya orang menjadi pencitraan diri dalam arti bahwa ia semakin hanya menikmati atau memprihatinkan bagaimana ia “kelihatan”. Orang-orang dibuat menjadi sibuk memikirkan diri sendiri hanya karena ingin dianggap “ada”. Akhirnya globalisasi, menurut Habermas, bukan menjadi sebuah pemberdayaan yang memajukan, namun justru memperlemah dan rentan untuk dimanipulasi. Membuat kita hanya fokus pada komentar-komentar singkat di sosial media tanpa berusaha membentuk karakter yang pada nyatanya justru lebih penting.
Tetapi pendapat teman saya di atas itu, dan juga cerita-cerita malasnya orang mengikuti seminar atau diskusi kebangsaan—pasti adalah karena alasan. Sederhana saja, kita menjadi skeptis dengan pemerintah. Kita terlalu lelah mendengar kata “korupsi” di kotak 14 inchi kita itu. Sehingga akhirnya kita fokus pada bagaimana hidup kita harus berjalan. Maka pertemuan generasi muda dengan globalisasi sebenarnya tidak melulu hal negatif. Seperti yang dikatakan Habermas, globalisasi dengan segala kecanggihan teknologi-nya membuat kita terfokus pada apa yang harus kita lakukan. Tidak lagi mengadakan debat kusir, apalagi turun ke jalan untuk tawuran atau saling membunuh karena perbedaan pendapat. Belum lagi apabila kita melihat beragamnya komunitas yang dibentuk anak-anak muda kini mulai bermunculan, apakah masih generasi muda saat ini pantas dibilang apatis? Kita masih memiliki banyak anak muda yang tak perlu mengumbar di jejaring sosial, tetapi sangat peduli dengan bangsa ini dengan caranya masing-masing. Kalau begitu, apatis juga bukan berarti karena kita tidak ikut berpartisipasi.
Disinilah poin diskusi kita. Dosen saya pernah menulis tentang persoalan konsep partisipasi yang menggeser dalam sistem demokrasi, tentunya ini di Indonesia. Dalam tulisannya itu ia menyimpulkan bahwa kita yang sering dikatakan sebagai tokoh utama dalam demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” justru tidak pernah peduli. Kita hanya memenuhi bilik-bilik pemilu untuk memilih calon pemimpin, namun tidak pernah ikut mengkontrol dan mengkritisi sikap dan kebijakan yang dibuat pemerintah. Inilah yang saya rasa mengapa muncul kesimpulan bahwa, generasi muda saat ini apatis. Kita seperti tak cinta pada bangsanya sendiri karena kita rela membiarkan orang-orang besar dan berkuasa di sana menghancurkan bangsa ini. Kita hanya sibuk sendiri dengan “pengakuan sosial” supaya dianggap ada dan hadir. Kita tidak pernah benar-benar serius peduli dalam membentuk karakter bangsa.

Lalui Peluang dan Tantangan
Lantas harus berbuat apa?
Saya ingin memulai bagian ini dengan satu contoh kecil. Misalnya saja ketika kita sedang berada di angkutan umum dan melihat seorang anak membuang kulit pisang sembarangan ke jalan. Kita tidak memberitahunya secara baik-baik, namun malah asik sendiri tak peduli karena merasa, “yang penting bukan anak saya.” Bukankah itu juga bentuk sikap  tak acuh? Sementara kita baru saja me-retweet kata-kata mutiara di Twitter yang esensinya adalah tentang “kepedulian”. Sungguh kita terlalu terlena hidup di dalam dunia maya.
Saya rasa yang harus menjadi fokus kita sebagai generasi penerus saat ini ialah betuk integritas yang tinggi. Integritas memang tak berwujud fisik, tetapi ia merupakan satu-satunya untuk melalui tantangan dari ketidakpedulian persoalan bangsa ini. Anak muda tak harus melulu membuat diskusi setiap waktu untuk menyatakan kepedulian. Tetapi dapat melakukan segala pekerjaan masing-masing dengan integritas demi terciptanya karakter bangsa lah yang membantu membentuk karakter. Anda boleh menjadi tukang pisang goreng, tetapi dengan integritas Anda tidak akan menggoreng pisang itu dengan sembarangan. Itulah yang saya maksud bahwa karakter itu penting. Itu lah yang saya rasa satu-satunya cara untuk membuat kita peduli pada bangsa ini.
Terakhir, saya begitu takut saya menulis ini hanya karena ingin menunjukkan saya “ada”. Saya takut menjadi menjadi apatis ketika tulisan-tulisan yang berwarna semangat perubahan hanya menjadi dokumentasi, lantas sikap tak acuh tetap menjadi pembahasan yang tak habis-habis, dan hanya berakhir pada sekadar topik diskusi-diskusi klise.

Video dari BRNDLS yang satu ini, saya rasa dapat mewakili apa yang saya rasa, dan semoga semua anak muda Indonesia-yang disebut sebagai anak muda paling emas yang dimiliki Bangsa ini-dapat merubahnya dari kerakusan.

BRNDLS (Feat. Mourgue Vanguard) - ABRASI



Ditulis untuk Pamflet http://pamflet.or.id/blog/apatis-ria-tentang-partisipasi-dan-sikap-tak-acuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment