Jumat, 13 Desember 2013

Menyulam 2013





                Mengawali tulisan ini sebenarnya serba rumit. Isi kepala dan isi di dada berlomba mencari perhatian. Semuanya merupakan kontempelasi dari quartet life crisis yang saya alami. Mungkin menjadi tampak klise karena kalimat tersebut sudah mulai digunakan oleh banyak orang—yang terkadang maknanya kabur dan seketika menjadi menye-menye nyerempet jadi curhatan. Namun akhirnya memang begitulah mungkin makna dari quartet life crisis. Bagi Nisa Rahmanti[1], setiap orang (khususnya perempuan) diumur 20-an, pastinya mengalami krisis ¼ ini. Kompleksitas yang saya alami pasti dialami juga oleh banyak orang, maka sering kita ucapkan, “njrit…gue banget!”. Sejujurnya file dengan judul quartet life crisis di laptop saya sudah menumpuk hingga 5-7 file. Apabila saya buka dan baca kembali, padahal isinya sekitar 3 sampai 10 paragraf saja. Keseluruhan merupakan luapan emosi yang entah mau dibuang kemana, dan (semoga) lebih baik diluapkan ke dalam tulisan.
                Melanjuti perjalanan tahun sebelumnya, 2013 masih saya jalani dengan penuh keraguan. Berlayar di 21 saya rasa krisis ini dimulai sejak Juni 2012 lalu. Mengapa Juni? Karena pada Juni itulah zona nyaman hidup saya sirna. Indikatornya bisa dilihat dari bulan Juni adalah update terakhir tulisan di blog saya. Mengapa menjadi indikator? Rupa-rupa-nya krisis keraguan, krisis kepercayaan, krisis percaya diri, dan segala ketakutan yang berakar tersebut membuat mahluk ini hanya habis dimakan ketakutan dan tidak berdaya melakukan hal apa-apa. Bahkan untuk sekedar mengisi laman di blog pribadi.
                Dibalik itu saya menyadari bahwa ada prasangka yang kuat, ia muncul dari ketakutan, ia ada di dalam bawah sadar yang hidup, ia berkuasa, ia ada dalam diri ini, dan ia begitu kuat bagi realitas.

Karena 2012 adalah “Koma”

                April, 2012, saya berhasil menamatkan kuliah tingkat pertama dengan penuh haru. Mengingat perjuangan yang tak sendiri, sebab keluarga selalu berada di belakang saya menjadi motivasi terbesar. Dengan penuh dorongan dalam hati bahwa kini giliran saya yang harus membuat mereka bahagia. “Bahagia” saat itu bagi saya adalah dapat membelikan sebuah mobil bagi keluarga.
Selama kuliah diantar jemput oleh Ayah, kami telah terbiasa menyeimbangkan tubuh di motor, menyalip diantara sela-sela kendaraan roda empat yang mewah di sepanjang jalan Pondok Indah. Di sepanjang jalan itulah saya slalu yakin akan dapat membelikan salah satu mobil yang kami salip setiap hari itu.
Tetapi keinginan punya mobil perlahan di ambang keraguan. Ini karena pola pikir saya berubah. Tahap pertama: Pasca lulus sidang, saya dan teman-teman sering berkumpul, bercerita dan memikirkan jalan hidup selanjutnya masing-masing. Kelulusan ini menjadi semacam helaan nafas bagi kami. Pikir kami, perjalanan hidup yang ke-20 tahun merupakan akhir dari “keperihatinan” akan hidup. Bayangan dapat membeli ini dan itu sesuka hati sudah di depan mata. Tapi.. Oh, itu mungkin bagi mereka, bukan saya. Ketika teman-teman telah memiliki tekad akan bekerja di bank, industri otomotif, financial consultation, etc etc—saya justru masih menyimpan keinginan untuk menjadi penulis. Penulis apa? Pikir saya dalam hati. Masih belum tahu. Ketika saya menginginkannya, ketika itu juga saya meragukannya.
Selepas wisuda, entah ada angin apa, tiba-tiba saja dosen saya meminta saya untuk bergabung di kampus alamamater. Tetapi saya harus mengakui, bukan dunia menulis akademik yang sebenarnya saya mau. Saya ingin menulis dibidang seni. Saya ingin menyelami seni hidup. Singkatnya tidak mau menulis serius semacam peneliti. 3,5 tahun sudah cukup rasanya menyelami Ilmu Hubungan Internasional (HI).
Tetapi ketika mama tahu bahwa saya ditawari S2, ia pun memberi semangat yang sangat besar. Maklum, menjadi guru baginya adalah pekerjaan yang mulia. Dosen. Profesi yang prestige. Tapi di Indonesia? Masih kalah prestige  dengan Olga Syahputra dan kawan-kawan Dahsyat. Diperhatikan caleg? Boro-boro, para dosen dan peneliti justru harus mengamini jargon, “Dunia akademik uangnya kecil”. Lucunya stigma yang muncul ialah “Dosen adalah pekerjaan yang mulia sehinga tidak apa penghasilan kecil”. Stigma itu bagi saya menjadi semacam pewajaran dari negara ini. Bayangkan saja mereka hanya memberikan 0,4% dari APBN bagi perkembangan penelitian—padahal kata RI-1, “Tekhnologi dan penelitian adalah penunjang utama bagi kemajuan bangsa”. Ahahaa tuan omong kosong! Memang, di negeri leberaless ini kita harus paham bahwa Professor gajinya kalah dengan pengelola gedung mall. Lihat saja gedung LIPI yang kusam dan berhantu itu. Coba bandingkan dengan gedung-gedung mall. Oiya, yang penting, kan, mulia, yah.
Itulah pikiran marah saya terhadap sebuah kenyataan yang harus dihadapi di negeri budak ini. Pada tahap kedua inilah juga alasan mengapa saya membenci realita yang memaksakan beli mobil hanya untuk mendongkrang life style. Imbasnya? Rasa benci tapi butuh jadi tarik menarik. Faktor yang terlihat “sepele” itu justru menjadi faktor besar mengapa tawaran S2 ini menjadi sebuah oase bagi saya. Mungkinkah dengan menjadi dosen adalah jalan hidup yang baik bagi kebahagiaan dan kepuasaan raga dan batin saya?

Menyulam Pertanda
Paradoks. Manusia memiliki unsur kompleks tersebut. Saya membenci orang-orang kaya penuh kepalsuan tapi ketika disodorkan hidup sederhana saya harus berpikir ulang. Merasa bosan dengan semua jalan berat yang sudah saya lalui. Tapi saya pun tidak ingin menjadi agen-agen asing dengan slogan-slogan motivasi suksenya. Saya harus membiayai adik-adik saya, memberangkatkan mama naik haji, membangun rumah idaman. Tapi tidak ingin menjadi kaya tanpa berkarya dan hanya menjadi pegawai membosankan setiap hari. Saya tau harus kaya, dan karenanya saya meragukan tawaran itu. Intuisi saya hingga saat ini berbisik bahwa tawaran tersebut tidak bisa membuat saya menjadi…. Tapi……

Maka dalam proses menentukan memilih itu terlalu banyak tapi.
Di tengah itu saya mulai mengumpulkan pertanda-pertanda yang datang.  Ini lucu. Saya menjahit pertanda tersebut satu per-satu. Menyulamnya “semau” saya. Tentu. Ini sungguh-sungguh semau saya.  Tebang pilih apa yang harus saya percaya, baik atau buruknya pertanda tersebut, semau saya.
Tapi….

Tapi lagi.

Akhirnya saya merasa perlu bertanya kepada yang paling tinggi: Allah SWT melalui kitab suci yang diturunkannya.
               
Al-Qur’an itu saya genggam erat pada sepertiga malam. Dengan iman, malam itu saya shalat istikharah bermaksud bertanya pada Sang Pencipta akan sebuah pilihan yang ada di depan mata. Setelah shalat, saya membuka satu lembar kitab suci tersebut dengan mata tertutup tanda pasrah dengan ayat yang akan saya lihat. Saya membiarkan telunjuk menunjuk satu ayat. Jari itu bergerak tanpa tujuan, kemudian perlahan saya membuka mata. Saya membacanya: “Hendaklah tuntut Ilmu….”. Saat itu juga saya menterjemahkan ayat tersebut dengan arti “Menuntut ilmu = Kuliah”. Apakah itu pertanda saya harus mengambil tawaran kuliah tersebut?. Sungguh masih sebuah tanda tanya besar—

Namun tak sampai disitu tekad saya langsung bulat. Walau sudah bertanya pada yang Maha Kuasa tetap saja saya ragu. Ego saya menginginkannya {Siapa yang tak mau dijanjikan akan dapat kesempatan bersekolah lagi?), akan tetapi hati ini menolak. Dada itu masih penuh dengan gemuruh akan keraguan. Saya bertanya banyak hal pada orang tua dan teman-teman, tetapi tak juga menemukan jawaban yang pasti. Hanya saja saya merasa jalan tawaran ini begitu mulus seperti kulit wajah para sosialita. Terutamanya pendapat orang-orang terdekat saya yang hampir 80% mendukung saya untuk mengambil tawaran tersebut. Bahkan Mama menjadi tolak ukur bahwa pilihan ini akan menjadi benar.
Di titik itulah saya mengambil kesimpulan bahwa jalan ini mungkin sudah direncanakan oleh Tuhan. Maka itulah sepenggal proses mengapa akhirnya saya jatuh pada pilihan mengambil tawaran tersebut. Pekerjaan yang akhirnya saya pilih dengan setengah hati. Masih sering mengeluh setiap harinya. Dimulai dari bangun tidur hingga bersiap tidur dan tak lupa mimpi buruk. Ketakutan itu bagai ribuan atom yang menggelitik hatimu dan mengeliat di jantungmu.  Jeleknya lagi keluhan disetiap saya melakukan sesuatu pada setiap detiknya. Saya menjadi sangat cengeng!

Tetapi setengah hati tidaklah selalu buruk apabila kita sadar bahwa “kini” tetap harus dijalani.
Tentang masa kini saya selalu teringat ‘Karna’. Teater yang digarap Goenawan Mohammad itu mengajarkan bahwa kita hidup di masa kini, artinya masa lalu tidaklah boleh menjadi hambatan, dan masa depan masih panjang maka janganlah takut sebab yang harus kita jalani adalah yang kini, dan kini akan membangun yang depan. Oh maaf teman, namun apalah artinya motivasi-motivasi semua itu jika setengah hati saya selalu mengeluh.

Ketidakpercayaan itu membuat saya ingin mati.

Prasangka yang Membunuh mu, Bukan Realita
Awal 2013 saya berada dalam satu petak kostan. Dengan gaji di bawah UMR Jakarta, saya harus bertahan di setiap recehnya. Membeli momogi setidaknya membuat otak saya meleleh saat itu. Kesendirian di kosan itu yang membuat saya sering melamun. Macam orang bego. Terkadang saya ketakutan, terkadang ketawa sendiri. Kalau lagi sadar, saya pikir ini juga lucu.
Sangat lucu.
Ketika saya menyesal atas pilihan yang saya ambil, saya menyalahkan semua pertanda-pertanda itu dan menyalahkan…maaf, Tuhan. Mencaci mengapa harus mengikuti semua pertanda itu. Mengapa saya mengabaikan suara hati yang ragu karena suaranya sangat kecil dan akhirnya dihiraukan begitu saja. Haha ini lucu. Sebab seharusnya saya marah pada diri saya sendiri. Saya lah yang menyulam semua pertanda itu sesuka saya. Menerobos segala keraguan. Memaksakan percaya akan kemulusan-kemulusan pertanda itu.
Di sini akhirnya saya tersadar bahwa apa pun itu pertanda yang datang, tetaplah yang menentukan diri kita sendiri, kita yang merangkai dan menyulamnya. Betap bodohnya manusia sering menyalahkan nasib karna salah memilih jalan. Ketika susah menyalahkan agama dan Tuhan. Menyalahkan orang lain. Padahal apapun yang dijalani adalah apa yang diyakini dan dipilih.

Hukum Tarik
Dan lagi, ketika sampai pada lamunan yang dalam, saya teringat….
                Jauh sebelum masuk kuliah—yaitu sejak mulai suka menulis, saya sering membayangkan hidup saya sulit. Saya menginginkan fase-fase tersebut agar saya dapat berkarya. Tergelitik dalam lamunan itu. Teringat pada pertanyaan saya pada teman-teman di Formspring (http://formspring.me/tanyamutia). Setelah membaca tulisan Melancholia of Happines, saya langsung bertanya, “Lebih memilih hidup bahagia tetapi tak berkarya, atau tak bahagia tapi dapat berkarya?”. Kemudian ada seorang teman memberi pertanyaan yang sama kepada saya. Dan saya menjawabnya, “Sejak membaca cerita Laskar Pelangi, gatau kenapa gue pengen hidup gue nggak gampang. Gue pengen penuh dengan tantangan, dan mungkin dengan itu gue bisa berkarya”. Ini lucu. Seringkali saya memikirkan bahwa tahun-tahun seperempat krisis saya dimakan habis oleh kesulitan. Dan semua ini untuk satu impian: menjadi penulis yang kaya akan rasa di hidup ini.
Saya baru tersadar ketika perut saya lapar dalam kesendirian, bahwa selama ini ada yang berbisik tapi saya menghiraukannya. Ia adalah hati. Saat itu ia bilang bahwa jangan diambil, jangan berambisi, saya begitu takut jika saya menjadi perempuan yang angkuh jika saya menjalani hidup ini terlalu berat. Dan segala ketakutan itu justru membawa kepada satu keinginan saya.
Sore itu menjadi fase dimana saya nggak suka disebut pemikir. Kepala saya sakit. Saya ingin melakukannya dibawah alam pikiran, tapi karena saya telah menulis ini—saya tahu, saya telah menyadarinya. Semua ini karena teori. Saya sangat amat membenci teori.
               
                Siapa?
Saya tidak tahu siapa menentukan siapa. Takdir yang menentukan saya bertemu dengan Al-Qur’an. Atau diri ini yang bergerak karna keyakinan. Atau memang saya dan Al-Qur’an digerakkan oleh yang Maha Kuasa, atau oleh (apa yang kita sebut dengan) Semesta, atau oleh rahasia kehidupan yang sulit kita jawab.
Tapi dari situ saya menyadari bahwa manusia dan isi di dalamnya memiliki kekuatan yang luar biasa. Aku dan prasangkaku. Aku dan kepercayaanku. Aku dan ketakutanku. Sungguh luar biasa. So, the biggest enemy is ourselves. Ia yang sering menghantui hati kita. Merajuk dan meragu.
Ketika saya menyadari ini, apa yang saya lihat ialah manusia dengan Tuhannya. Tuhannya ada di dalam dirinya. Maka benarlah bahwa pepatah bahwa orang yang telah mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya. Memancarkannya ke dalam setiap tindakan. 

2013 merupakan tahun dimana aku mengenal diriku lebih dalam. Semua yang terjadi justru membuat ku mengerti perjalanan spiritual seperti apa yang kumau. Hidup seperti apa yang kumau.



[1] Nisa Rahmanti (Icha) adalah Penulis Novel Best Seller berjudulCintapuccino”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment