Mengawali tulisan ini sebenarnya
serba rumit. Isi kepala dan isi di dada berlomba mencari perhatian. Semuanya
merupakan kontempelasi dari quartet life
crisis yang saya alami. Mungkin menjadi
tampak klise karena kalimat tersebut sudah mulai digunakan oleh banyak
orang—yang terkadang maknanya kabur dan seketika menjadi menye-menye nyerempet
jadi curhatan. Namun akhirnya memang begitulah mungkin makna dari quartet life crisis. Bagi Nisa Rahmanti[1], setiap
orang (khususnya perempuan) diumur 20-an, pastinya mengalami krisis ¼ ini.
Kompleksitas yang saya alami pasti dialami juga oleh banyak orang, maka sering
kita ucapkan, “njrit…gue banget!”. Sejujurnya file dengan judul quartet life crisis di laptop saya sudah
menumpuk hingga 5-7 file. Apabila saya buka dan baca kembali, padahal isinya sekitar
3 sampai 10 paragraf saja. Keseluruhan merupakan luapan emosi yang entah mau
dibuang kemana, dan (semoga) lebih baik diluapkan ke dalam tulisan.
Melanjuti perjalanan tahun
sebelumnya, 2013 masih saya jalani dengan penuh keraguan. Berlayar di 21 saya
rasa krisis ini dimulai sejak Juni 2012 lalu. Mengapa Juni? Karena pada Juni
itulah zona nyaman hidup saya sirna. Indikatornya bisa dilihat dari bulan Juni
adalah update terakhir tulisan di blog saya. Mengapa menjadi indikator?
Rupa-rupa-nya krisis keraguan, krisis kepercayaan, krisis percaya diri, dan
segala ketakutan yang berakar tersebut membuat mahluk ini hanya habis dimakan
ketakutan dan tidak berdaya melakukan hal apa-apa. Bahkan untuk sekedar mengisi
laman di blog pribadi.
Dibalik itu saya menyadari bahwa
ada prasangka yang kuat, ia muncul dari ketakutan, ia ada di dalam bawah sadar
yang hidup, ia berkuasa, ia ada dalam diri ini, dan ia begitu kuat bagi
realitas.
Karena 2012 adalah “Koma”
April, 2012, saya berhasil
menamatkan kuliah tingkat pertama dengan penuh haru. Mengingat perjuangan yang
tak sendiri, sebab keluarga selalu berada di belakang saya menjadi motivasi
terbesar. Dengan penuh dorongan dalam hati bahwa kini giliran saya yang harus
membuat mereka bahagia. “Bahagia” saat itu bagi saya adalah dapat membelikan
sebuah mobil bagi keluarga.
Selama
kuliah diantar jemput oleh Ayah, kami telah terbiasa menyeimbangkan tubuh di
motor, menyalip diantara sela-sela kendaraan roda empat yang mewah di sepanjang
jalan Pondok Indah. Di sepanjang jalan itulah saya slalu yakin akan dapat
membelikan salah satu mobil yang kami salip setiap hari itu.
Tetapi
keinginan punya mobil perlahan di ambang keraguan. Ini karena pola pikir saya berubah.
Tahap pertama: Pasca lulus sidang, saya dan teman-teman sering berkumpul,
bercerita dan memikirkan jalan hidup selanjutnya masing-masing. Kelulusan ini menjadi
semacam helaan nafas bagi kami. Pikir kami, perjalanan hidup yang ke-20 tahun merupakan
akhir dari “keperihatinan” akan hidup. Bayangan dapat membeli ini dan itu
sesuka hati sudah di depan mata. Tapi.. Oh, itu mungkin bagi mereka, bukan saya.
Ketika teman-teman telah memiliki tekad akan bekerja di bank, industri
otomotif, financial consultation, etc
etc—saya justru masih menyimpan keinginan untuk menjadi penulis. Penulis apa?
Pikir saya dalam hati. Masih belum tahu. Ketika saya menginginkannya, ketika
itu juga saya meragukannya.
Selepas
wisuda, entah ada angin apa, tiba-tiba saja dosen saya meminta saya untuk
bergabung di kampus alamamater. Tetapi saya harus mengakui, bukan dunia menulis
akademik yang sebenarnya saya mau. Saya ingin menulis dibidang seni. Saya ingin
menyelami seni hidup. Singkatnya tidak mau menulis serius semacam peneliti. 3,5
tahun sudah cukup rasanya menyelami Ilmu Hubungan Internasional (HI).
Tetapi
ketika mama tahu bahwa saya ditawari S2, ia pun memberi semangat yang sangat
besar. Maklum, menjadi guru baginya adalah pekerjaan yang mulia. Dosen. Profesi
yang prestige. Tapi di Indonesia?
Masih kalah prestige dengan Olga Syahputra dan kawan-kawan Dahsyat.
Diperhatikan caleg? Boro-boro, para dosen dan peneliti justru harus mengamini
jargon, “Dunia akademik uangnya kecil”. Lucunya stigma yang muncul ialah “Dosen
adalah pekerjaan yang mulia sehinga tidak apa penghasilan kecil”. Stigma itu bagi
saya menjadi semacam pewajaran dari negara ini. Bayangkan saja mereka hanya
memberikan 0,4% dari APBN bagi perkembangan penelitian—padahal kata RI-1, “Tekhnologi
dan penelitian adalah penunjang utama bagi kemajuan bangsa”. Ahahaa tuan omong
kosong! Memang, di negeri leberaless ini kita harus paham bahwa Professor
gajinya kalah dengan pengelola gedung mall. Lihat saja gedung LIPI yang kusam
dan berhantu itu. Coba bandingkan dengan gedung-gedung mall. Oiya, yang penting, kan, mulia, yah.
Itulah
pikiran marah saya terhadap sebuah kenyataan yang harus dihadapi di negeri
budak ini. Pada tahap kedua inilah juga alasan mengapa saya membenci realita
yang memaksakan beli mobil hanya untuk mendongkrang life style. Imbasnya? Rasa benci tapi butuh jadi tarik menarik.
Faktor yang terlihat “sepele” itu justru menjadi faktor besar mengapa tawaran
S2 ini menjadi sebuah oase bagi saya. Mungkinkah dengan menjadi dosen adalah
jalan hidup yang baik bagi kebahagiaan dan kepuasaan raga dan batin saya?
Menyulam Pertanda
Paradoks.
Manusia memiliki unsur kompleks tersebut. Saya membenci orang-orang kaya penuh
kepalsuan tapi ketika disodorkan hidup sederhana saya harus berpikir ulang.
Merasa bosan dengan semua jalan berat yang sudah saya lalui. Tapi saya pun
tidak ingin menjadi agen-agen asing dengan slogan-slogan motivasi suksenya. Saya
harus membiayai adik-adik saya, memberangkatkan mama naik haji, membangun rumah
idaman. Tapi tidak ingin menjadi kaya tanpa berkarya dan hanya menjadi pegawai
membosankan setiap hari. Saya tau harus kaya, dan karenanya saya meragukan
tawaran itu. Intuisi saya hingga saat ini berbisik bahwa tawaran tersebut tidak
bisa membuat saya menjadi…. Tapi……
Maka
dalam proses menentukan memilih itu terlalu banyak tapi.
Di
tengah itu saya mulai mengumpulkan pertanda-pertanda yang datang. Ini lucu. Saya menjahit pertanda tersebut
satu per-satu. Menyulamnya “semau” saya. Tentu. Ini sungguh-sungguh semau saya.
Tebang pilih apa yang harus saya
percaya, baik atau buruknya pertanda tersebut, semau saya.
Tapi….
Tapi
lagi.
Akhirnya
saya merasa perlu bertanya kepada yang paling tinggi: Allah SWT melalui kitab
suci yang diturunkannya.
Al-Qur’an
itu saya genggam erat pada sepertiga malam. Dengan iman, malam itu saya shalat
istikharah bermaksud bertanya pada Sang Pencipta akan sebuah pilihan yang ada
di depan mata. Setelah shalat, saya membuka satu lembar kitab suci tersebut
dengan mata tertutup tanda pasrah dengan ayat yang akan saya lihat. Saya
membiarkan telunjuk menunjuk satu ayat. Jari itu bergerak tanpa tujuan, kemudian
perlahan saya membuka mata. Saya membacanya: “Hendaklah tuntut Ilmu….”. Saat
itu juga saya menterjemahkan ayat tersebut dengan arti “Menuntut ilmu = Kuliah”.
Apakah itu pertanda saya harus mengambil tawaran kuliah tersebut?. Sungguh
masih sebuah tanda tanya besar—
Namun
tak sampai disitu tekad saya langsung bulat. Walau sudah bertanya pada yang
Maha Kuasa tetap saja saya ragu. Ego saya menginginkannya {Siapa yang tak mau
dijanjikan akan dapat kesempatan bersekolah lagi?), akan tetapi hati ini
menolak. Dada itu masih penuh dengan gemuruh akan keraguan. Saya bertanya
banyak hal pada orang tua dan teman-teman, tetapi tak juga menemukan jawaban
yang pasti. Hanya saja saya merasa jalan tawaran ini begitu mulus seperti kulit
wajah para sosialita. Terutamanya pendapat orang-orang terdekat saya yang
hampir 80% mendukung saya untuk mengambil tawaran tersebut. Bahkan Mama menjadi
tolak ukur bahwa pilihan ini akan menjadi benar.
Di
titik itulah saya mengambil kesimpulan bahwa jalan ini mungkin sudah direncanakan
oleh Tuhan. Maka itulah sepenggal proses mengapa akhirnya saya jatuh pada
pilihan mengambil tawaran tersebut. Pekerjaan yang akhirnya saya pilih dengan
setengah hati. Masih sering mengeluh setiap harinya. Dimulai dari bangun tidur
hingga bersiap tidur dan tak lupa mimpi buruk. Ketakutan itu bagai ribuan atom
yang menggelitik hatimu dan mengeliat di jantungmu. Jeleknya lagi keluhan disetiap saya melakukan
sesuatu pada setiap detiknya. Saya menjadi sangat cengeng!
Tetapi setengah hati tidaklah selalu
buruk apabila kita sadar bahwa “kini” tetap harus dijalani.
Tentang
masa kini saya selalu teringat ‘Karna’. Teater yang digarap Goenawan Mohammad
itu mengajarkan bahwa kita hidup di masa kini, artinya masa lalu tidaklah boleh
menjadi hambatan, dan masa depan masih panjang maka janganlah takut sebab yang
harus kita jalani adalah yang kini, dan kini akan membangun yang depan. Oh maaf
teman, namun apalah artinya motivasi-motivasi semua itu jika setengah hati saya
selalu mengeluh.
Ketidakpercayaan
itu membuat saya ingin mati.
Prasangka yang Membunuh mu, Bukan Realita
Awal
2013 saya berada dalam satu petak kostan. Dengan gaji di bawah UMR Jakarta,
saya harus bertahan di setiap recehnya. Membeli momogi setidaknya membuat otak
saya meleleh saat itu. Kesendirian di kosan itu yang membuat saya sering
melamun. Macam orang bego. Terkadang saya ketakutan, terkadang ketawa sendiri.
Kalau lagi sadar, saya pikir ini juga lucu.
Sangat
lucu.
Ketika
saya menyesal atas pilihan yang saya ambil, saya menyalahkan semua
pertanda-pertanda itu dan menyalahkan…maaf, Tuhan. Mencaci mengapa harus
mengikuti semua pertanda itu. Mengapa saya mengabaikan suara hati yang ragu
karena suaranya sangat kecil dan akhirnya dihiraukan begitu saja. Haha ini
lucu. Sebab seharusnya saya marah pada diri saya sendiri. Saya lah yang
menyulam semua pertanda itu sesuka saya. Menerobos segala keraguan. Memaksakan
percaya akan kemulusan-kemulusan pertanda itu.
Di
sini akhirnya saya tersadar bahwa apa pun itu pertanda yang datang, tetaplah
yang menentukan diri kita sendiri, kita yang merangkai dan menyulamnya. Betap
bodohnya manusia sering menyalahkan nasib karna salah memilih jalan. Ketika
susah menyalahkan agama dan Tuhan. Menyalahkan orang lain. Padahal apapun yang
dijalani adalah apa yang diyakini dan dipilih.
Hukum Tarik
Dan
lagi, ketika sampai pada lamunan yang dalam, saya teringat….
Jauh sebelum masuk kuliah—yaitu sejak
mulai suka menulis, saya sering membayangkan hidup saya sulit. Saya
menginginkan fase-fase tersebut agar saya dapat berkarya. Tergelitik dalam
lamunan itu. Teringat pada pertanyaan saya pada teman-teman di Formspring (http://formspring.me/tanyamutia). Setelah
membaca tulisan Melancholia of Happines,
saya langsung bertanya, “Lebih memilih
hidup bahagia tetapi tak berkarya, atau tak bahagia tapi dapat berkarya?”.
Kemudian ada seorang teman memberi pertanyaan yang sama kepada saya. Dan saya
menjawabnya, “Sejak membaca cerita Laskar
Pelangi, gatau kenapa gue pengen hidup gue nggak gampang. Gue pengen penuh
dengan tantangan, dan mungkin dengan itu gue bisa berkarya”. Ini lucu.
Seringkali saya memikirkan bahwa tahun-tahun seperempat krisis saya dimakan
habis oleh kesulitan. Dan semua ini untuk satu impian: menjadi penulis yang
kaya akan rasa di hidup ini.
Saya
baru tersadar ketika perut saya lapar dalam kesendirian, bahwa selama ini ada
yang berbisik tapi saya menghiraukannya. Ia adalah hati. Saat itu ia bilang
bahwa jangan diambil, jangan berambisi, saya begitu takut jika saya menjadi
perempuan yang angkuh jika saya menjalani hidup ini terlalu berat. Dan segala
ketakutan itu justru membawa kepada satu keinginan saya.
Sore
itu menjadi fase dimana saya nggak suka disebut pemikir. Kepala saya sakit. Saya
ingin melakukannya dibawah alam pikiran, tapi karena saya telah menulis
ini—saya tahu, saya telah menyadarinya. Semua ini karena teori. Saya sangat
amat membenci teori.
Siapa?
Saya
tidak tahu siapa menentukan siapa. Takdir yang menentukan saya bertemu dengan
Al-Qur’an. Atau diri ini yang bergerak karna keyakinan. Atau memang saya dan
Al-Qur’an digerakkan oleh yang Maha Kuasa, atau oleh (apa yang kita sebut
dengan) Semesta, atau oleh rahasia kehidupan yang sulit kita jawab.
Tapi
dari situ saya menyadari bahwa manusia dan isi di dalamnya memiliki kekuatan
yang luar biasa. Aku dan prasangkaku. Aku dan kepercayaanku. Aku dan
ketakutanku. Sungguh luar biasa. So, the
biggest enemy is ourselves. Ia yang sering menghantui hati kita. Merajuk
dan meragu.
Ketika
saya menyadari ini, apa yang saya lihat ialah manusia dengan Tuhannya. Tuhannya
ada di dalam dirinya. Maka benarlah bahwa pepatah bahwa orang yang telah
mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya. Memancarkannya ke dalam
setiap tindakan.
2013 merupakan tahun dimana aku mengenal
diriku lebih dalam. Semua yang terjadi justru membuat ku mengerti perjalanan
spiritual seperti apa yang kumau. Hidup seperti apa yang kumau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment