Rabu, 09 Maret 2011

Cerita Liputan Sang Amatir di JJF : Indonesia Itu Seperti Musik Jazz (JJF 2011)




Kalo kata Soleh Solihun di akun twitternya mengatakan kurang lebih, hal kesekian yang menyenangkan adalah datang ke acara yang banyak perempuan cantiknya.

Hahaha mungkin Java Jazz Festival (JJF) adalah salah satu tempatnya, teman. Melihat para gadis berkulit putih bersih menggunakan mini dress dipadu flat shoes, atau para lelaki berkulit bersih dan enak dipandang yang siap menjaga pacar-nya itu dikerumunan orang hehehe. Wahhh bersyukur sekali saya dan Eros atas nama Gigs Play mendapatkan ID untuk meliput JJF tertanggal 4 Maret 2011.

“Tanyaaaa… akhirnya kita bertemu jugaaaaaa”. Eros tampak lega melihat saya sudah berada di depannya, maklum sedari tadi saya sibuk menghubungi photographer handal ini. Di dalam press room sebelum meliput presscon Santana, Saya dan Eros memilah pertunjukkan mana saja yang akan kami liput. Jantung menggebu-gebu ketika melihat sejumlah deret artis yang akan beraksi malam itu. Akhirnya 12 pertunjukan tercentang dengan rapih, and let see apakah semua yang sudah ditandai bisa kami liput.

Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, akhirnya sang legend Carlos Santana masuk kedalam ruangan Presscon. Sumringah melihat sosok Carlos, sungguh karismatik, mata-nya menyala ketika semua rekan media rebutan ingin mengambil gambarnya. Sikapnya sangat aktif dan ramah dengan para penanya.
Santana menyinggung isu akhir-akhir ini seperti yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika. Salah satunya ia sebutkan kekisruhan di Libya, ia berpesan jika ingin damai cobalah pergi ke perpustakaan atau mendengarkan musik. Tuhan adalah cinta, jadi siapa saja yang suka marah-marah bergegaslah mengaca dan mengatakan “Aku cinta Tuhan”.

Keluar dari ruang presscon, Eros menghilang begitu saja tanpa jejak, sedangkan saya seperti anak kehilangan induknya. Pantas saja ya orang satu itu dinobatkan photographer khusus konser internasional versi Gigs Play— karena Eros mengerjakan tugasnya dengan cekatan (wohooo pasti ge-er deh nih).
Sejatinya saya bukanlah Jazzer, disini saya hanya akan bercerita bagaimana saya menikmati malam itu—malam perpaduan musik Eropa dan Afrika. Baiklah saya tak boleh tampak bodoh, ikat tali sepatu dulu, dan mari kita mulai perjalanan panjang “Harmony Under Our Nation” J

Tepat pukul 19.00, saya mencari D2 Axis Hall sesuai yang ditandai Eros. Acoustic Alchemy, duo gitaris pria yang wajahnya tak menarik buat saya sama sekali, namun ketika mereka mulai memetikkan gitar sungguh kaki saya reflex mengghentak-hentak pelan. Sejenak saya merasa tenang walau berdiri sendirian diantara kerumunan orang.

Setelah makan kebab (masih sendirian diantara kerumunan hehe), centangan kedua yang saya harus penuhi adalah Glen Fredly, ooo tentu saja saya tahu beberapa lagu-lagunya. Setelah nyaman dengan posisi—sebelum lagu ketiga dibawakan, Glen menyampaikan “Ini untuk kesekian kalinya saya berada di Java Jazz Festival. Tetapi buat saya malam ini sedikit berbeda karena bukan hiburan yang saya bawa, tapi pesan yang akan sampaikan dan semoga pesan ini sampai kepada kalian. Lagu ini dipersembahkan untuk kalian yang percaya bahwa Pelangi adalah sebuah harapan”. Sejumlah orang bernyanyi sambil merangkul temannya, merangkul ibu-nya, dan tentu saja merangkul pacar-nya. Saya? Merangkul handycam :D

Oke, saya mulai terbiasa berjalan sendiri dari hall satu ke hall yang lain. Karena masih jam setengah Sembilan, saya menuju Jazz Stage untuk melihat pertunjukkan Pandji. Saya bingung Pandji ini mau nyanyi apa ngelawak yah? Bareng Gamila Arief dan Ikhsan Akbar dengan satu rapper pria lagi (hingga saat ini saya belum tahu namanya), juga pemain terompet yang tak asing wajahnya—membawakan lagu sambil berjoget kompak. Mereka membawakan lagu jaman dulu nih, “Heyyyy iye iye iye, ye ye ye ye ye. Bila cinta bergelora di dada”—hayooo judul-nya apa tuh?. Wahahha pokoknya sungguh menghibur hingga keasikkan, sampai-sampai saya lupa melihat jadwal selanjutnya.

Toret toret toret…. Pukul menunjukkan 21.00, dijadwal pukul 21.00 adalah *jeng jeng* SANTANA! Saya pun lari menyelap-nyelip diantara banyaknya orang yang berjalan, dan tetap yang paling sulit adalah berjalan diantara orang-orang yang berlawanan arah. Sampai? Ahhh belum, pintu masuk D2 Axis Hall dialihkan, antri panjang pula, tetapi atas nama jurnalis saya pun langsung diperbolehkan masuk (hahhh menjijikkan :D ).

Hall D2 sudah dipenuhi penonton, dan menyebalkannya saya ketinggalan lagu pertama yang dibawakan Santana. Ohh… Sungguh wajah karismatik Santana membuat sejumlah wanita berteriak histeris, hujan tepuk tangan juga tak henti bergeming, saya pun terkagum ketika ia mencium gitar-nya terlebih dahulu dan mulai memainkan lagu. Como Oyo Va membawa saya ke Amerika Latin, Corazon Esmenando mengajak saya bergoyang, Foo Foo dengan suara khas gemercik dari alat musik khas Mexico itu. Dan tentu saja lagu sekitar tahun 1999—yang sepertinya 90% penggemarnya sudah pasti hafal lirik lagu ini, lagu yang juga dijadikan anthem dari iklan Axis Java Jazz—yaitu, Maria Maria…. Semua bernyanyi bahkan lompat-lompat senang. Sebelum menyanyikan lagu ini, Carlos Santana sedikit bergoyang dank arena itu semua berteriak histeris.

Kerena pinggang harus diistirahatkan sejenak, saya duduk dan cukup melihat Santana dari layar. Pas liat jadwal, waaaaaaaaa Dwikhi Dharmawan. Setelah dua kali muterin daerah Food Court, akhirnya ketemu juga B2 Hall Kementrian Perdagangan. Sungguh Indonesia. Sesuai dengan dukungan dari Kemendag (Kementrian Perdagangan) untuk Java Jazz bertemakan “100 % Indonesia”. Walaupun telat, beruntung saya masih bisa lihat Tompi duet dengan grup angklung Dwikhi membawakan lagu Kicir Kicir. Suara Tompi yang khas, nyaring-nyaring empuk, ditambah angklung dan alat musik Jawa Barat lainnya sungguh perpaduan yang luar biasa. Memang benar kata Dirjen PEN Hesti Kresnarini, JJF 2011 merupakan salah satu ajang pembuktian bahwa musisi Indonesia mampu berkoloborasi dengan musisi Internasional. Kegiatan seperti ini tentu dapat membangun rasa cinta dan bangga terhadap kiprah musik anak bangsa Indonesia. Waw tentu saja saya salah satu orang yang amat bangga.

Selanjutnya, saya harus melihat pria yang membuat trending topic “Hello Jakarta” di Twitter kamis malam—Ialah Sondre Lerche, penyanyi Jazz berasal dari Norwegia. Wahhh mengantri, teman. Kali ini tidak ada sekat, semua dorong-dorongan, bahkan ada sekelompok orang yang berjalan berlawanan arah. Sial sesak sekali, sempat ingin keluar tapi sudah terdorong ke lumayan tengah. Nyebelinnya lagi layar-nya mati, saya sama sekali tak bisa melihat wajah Sondre, dan karena itu orang-orang semakin ingin maju kedepan melihatnya dari dekat.

Mulai gelisah, melihat sekitar pasti sulit keluar, oke mencoba mengatur nafas, ahhh seketika saya merasa sedikit tenang saat Sondre Lerche mengajak penonton bernyanyi…

Last stop
Montauk
Try to get
Back on track
No vacation
Don't give up
Just don't look back

Sondre pandai berkomunikasi sekali. Suara dan petikan gitar-nya saat membawakan lagu Say It All membuat saya tetap bertahan. Masih terbayang ketika satu hall bernyanyi bersama I said a little. The rest is a riddle. You know the punchline. It's all in the punchline”. Namun setelah Sondre membawakan lagu Two Way Monolouge saya keluar karena tidak kuat, tambah sesak. Good bye, Sondre…

Sembari menunggu Endah and Rhesa, saya masuk ke A2 BNI Hall karena saya harus meliput Ruben Hein! Hall-nya besar tetapi tidak ramai. Kebalik sama Sondre Lorche yang dapat Hall kecil sedangkan penonton membludak, wah buat saya salah penempatan nih. Bahkan saya pun bisa duduk-duduk santai leluasa, bahkan bisa iseng-iseng menulis sembari mendegarkan Ruben bernyanyi. “This is my first time in Indonesia, and I will back, I will back” kata Ruben lalu tersenym manis hihi asiknyaa.

Pukul 23.00, yipieee Endah and Rhesa, tempatnya di Jazz Corner! Tetapi dari tiga panitia yang saya tanya tidak juga ada yang tahu dimana Jazz Corner itu. Lima belas menit tak juga menemukan, ahh tampak bodoh. Sempat pasrah karena kaki sudah memberontak ingin diistirahatkan. Namun saat berjalan dari Hall B2 BNI, di persimpangan jalan saya bertemu dengan…. (backsound : Dia Dia Dia – Afgan) bertemu dengan sosok tinggi, berkostum serba hitam, matanya tajam berisi, ahhh dia Wisnu “M2M”. Kita berpapasan, dia masih jalan santai (dan tentunya tidak menatap saya), namun saya tak bisa melepaskan pandangan hingga kepala saya ikut memutar namun kaki terus berjalan. Huaaaaaa semangat lagi saya, thanks Wisnu huahaha. Keberuntungan pun bertambah karena panitia terakhir yang saya beri pertanyaan “Jazz Corner itu dimanaaa?” – menjawab dengan tepat dan jelas!

Akhirnyaaaa saya melihat duet maut suami istri Endah and Rhesa. Akhirnya ohhh akhirnya saya tidak cuma menghentakkan kaki atau mengangguk-angguk—tetapi saya bisa bernanyi dengan puas. Saat Endah dan Rhesa melakukan acrobat gitar membawakan lagu I Do Remember, dan juga mengajak audience bernyanyi mengikuti Endah, seorang bapak-bapak disebelah saya terus menerus bilang “Keren ya dek, wah ini keren ini, saya baru lihat mereka ini, keren keren”. Hehehe iya pak, kuerennnnnn :D

Centangan terakhir yang belum tersilang—pukul 23.45, Corinne Bailey Rae lah yang harus diliput sebagai penutup. Melihatnya saya kok jadi terus tersenyum yah. Hitam manis, rambutnya keriting ikal, gigi-nya putih, senyumnya khas tak bosan dipandang. “Are you enjoy with Java Jazz?” teriak Corinne sebelum membawakan lagu pertama (ohh tentu saja, Corinne). D2 Hall itu sudah besar dibanding hall lainnya, tetapi dibanding Santana, Corrine lebih padat, lebih sesak. Kali ini saya tidak bisa selap-selip. Tak apa di ujung pintu tetapi senang sekali mendengar suara-nya, ketika ia menyanyikan lagu Like A Star, ohh sungguh penutupan yang manis buat saya dan tentu saja yang lainnya.

Tak ada lagi centangan yang saya lihat, semua sudah disilang. Saya pun berlalu dari D2 Hall menuju Media Room janjian bertemu kembali dengan Eros disana. Wait wait, saya melihat Calvin Jeremy sebentar di Java Jazz Stage, hmmm lagunya mengantarkan saya menuju lantai 6. Ahhh asikkk….

Overall Java Jazz Festival hari pertama (4 Maret) menurut saya sungguh manis, sungguh terasa paduan musik-nya. Dengan mengusung tema Harmony Under Our Nation—Festival Jazz tahun ini sepertinya memang sangat Indonesia. Setelah saya baca sejarah Jazz—Jazz adalah paduan musik gereja dari Eropa, bercampur dengan musik Latin dan juga Karibia. Jika Jazz disamakan dengan Indonesia, persamaannya adalah di negeri kita ini terdiri dari banyak suku, agama, kebudayaan yang berpadu menjadi satu. Hal tersebut memang masih menjadi harapan setiap harinya, hal tersebut adalah proses, namun buat saya tak ada salahnya jika kita terus yakin Indonesia dapat menjadi instrument indah seperti musik Jazz. Keseragaman yang berpadu menjadi satu dengan indah, itulah INDONESIA.

Ahyaa kekurangannya nih, kalo di pelantikan Paskibra saya dulu, ada nama istilahnya itu “Pos Bayangan”. Nahh di JJF ini, sangat kurang Pos Bayangan-nya. Kurang panitia penunjuk jalan, kalaupun ada masih asal kasih petunjukknya. Next banyakin panitia yang berkeliaran yah, jangan hanya di depan Hall :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment