Sabtu, 16 Februari 2013

Simply Soundtrack Psikosinema Festival 6



Film merupakan salah satu cara untuk kita mendapatkan pesan-pesan kehidupan melalui visualisasi hasil dari pemikiran para pegiat seni film. Di sisi lain, sebuah diskusi dibutuhkan untuk menjadi wadah membedah pesan-pesan tersembunyi tersebut. Dua kombinasi ini—film dan diskusi—bisa jadi sayuran dan kuah-nya. Kombinasi tersebut merupakan warna baru yang positif khususnya bagi kaum muda untuk membuka pikiran kritis dan maju melihat isu-isu sosial yang ada disekitar. Namun rasa apa yang kurang dari kombinasi tersebut? Musik. Tak ada perumpamaan lain. Tanpa musik, film ibaratnya sayur dan kuah tanpa garam.
Pertunjukan musik yang diadakan di Salihara pada 16 Februari kemarin sebagai rangkaian pendukung. Boleh jadi disebut sebagai soundtrack dari Psikosinema Festival ke-6 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Fakultas Psikologi (HIMAPSI) UNIKA Atma Jaya Jakarta. Melanjutkan tema “Kaum Urban Muda”, tahun ini Psikosinema membuat spesifikasi tema yang akhirnya menjadi: “Kaum Muda Urban: (Bebas) Memilih Bebas). Sejumlah film sejak tanggal 11 – 16 Februari diputar dengan spesifikasi diantaranya ialah “Berkiblat ke Negeri Orang”, “Meretas Pembedaan Gender”, “Anak Urban Mencari Tuhan”, “Cinta Adalah Sebab”, dan “Kaleidoskop Gairah Muda”. Sekedar info bahwa hasil dari diskusi film-film tersebut dapat dilihat dari website Psikosinema Festival di blog merekahttp://psikosinemafestival.blogspot.com .
Soal waktu, bisa dibilang panitia bekerja dengan baik. Tepat jam 7 malam sesuai dengan rundown, acara dibuka oleh The Experience Brothers. Sederhana saja. Tanpa panggung dan hanya lighting dibagian sisi kiri dan kanan atas, juga lampu yang mempermanis dibagian bawah menambah suasana yang romantis.Crowd duduk manis sesuai dengan seat teater yang sudah ada.
Sejumlah lagu yang sudah tak asing lagi seperti “Young Man”, “Freedom”, “Hearted Painted Black”, dan “She’s Alraight” dibawakan oleh Bram (vokal dan gitar) yang sangat menguasai dengan menikmati panggung walau hanya sendiri di depan. Tidak salah apabila mereka mendapatkan penghargaan dengan kategori Best Performance dari Free Magz. Duo kakak beradik ini seperti biasa mencoba menarik perhatian penonton dengan guyonan-guyonan kecil dijeda lagu ke lagu yang mereka bawakan. Bram dalam jeda tersebut juga membocorkan berita bahwa mereka akan perform di Mosaic Festival, Esplenade Singapura pada Maret mendatang.
Setelah The Experince Brothers menutup performance-nya melalui lagu “She’s Alraight”, kini band kedua dari manajemen yang sama yaitu L’Alphalpha mencoba membawa penonton ke alam mimpi. Yudistira Mahendra (bas) mengatakan bahwa ini adalah kali pertama L’Alphalpha manggung di Salihara—tempat yang sudah lama mereka nantikan. Sederet lagu andalan mereka seperti “Future Days”, “Reverie”, “Clouds” dilantunkan dengan lembut. Pada lagu keempat, L’Alphalpha mengajak penonton bermain dengan sejumlahmusic instrument. Mainan-mainan bayi seperti lonceng dipadukan menjadi musik yang sangat menarik. Cara ini merupakan sebuah interaksi kreatif yang membuat suasana menjadi intim antara band dan penontonnya.
Setelah lagu “Fire Works”, Bram dan Daud dari The Experience Brothers turun ke panggung. Dua band dari satu manajemen, Simpel Ramah Memuaskan (SRM) kini berbagi panggung. Mereka berkolaborasi membawakan lagu “Funk The Hole” milik SORE—untuk ulang tahun band tersebut yang ke-10. Kombinasi warna musik ambient pop dan  blues rock menjadikan lagu “Funk The Hole” sungguh apik.
Selesainya kolaborasi yang disambut oleh tepuk tangan meriah dari penonton, kini perhatian crowd milik Payung Teduh. Is (vokal dan gitar) yang baru saja sembuh dari sakitnya berkali-kali mengatakan bahwa dirinya sangat senang dapat manggung lagi, dan acara tesebut adalah panggung kedua kali mereka di Salihara. Mungkin karena rindunya itu pula, Is malam itu tak banyak diam. Ia—seperti biasa banyak bercerita tentang kampus dan jembatan Texas-nya.
Payung Teduh membuka penampilannya lewat lagu “Kucari Kamu” yang dilanjutkan dengan lagu “Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan”, “Angin Pujaan Hujan”, “Menuju Senja”, “Tidurlah”, dan “Cerita Tentang Gunung dan Laut”. Romantisnyaa dari band ini adalah mereka selalu membawa crowd dengan alami terbawa suasana. Terlebih ketika Is membiarkan penonton bernyanyi, sementara ia hanya memainkan gitarnya. Saat lagu “Kita Adalah Sisa-sisa yang Tak diikhlaskan” dimainkan, listrik tiba-tiba saja mati. Ruangan gelap dan alat musik pun otomatis berhenti. Namun matinya listrik justru menghangatkan suasana teater. Is justru senang bahkan meneruskan permainan gitarnya walau tak didukung listrik. “Nurlela” dan lagu “Rahasia” pun menjadi dua lagu terakhir mereka sekaligus menjadi penutup rangkaian pertunjukan musik.
Dan oleh karena suksesnya sebuah film didukung sebuah musik sebagai soundtrack, pertunjukan musik malam itu bisa dibilang adalah soundtrack dari Psikosinema Festival yang telah lebih dulu diselenggarakan. Tahun berikutnya, semoga Psikosinema Festival dapat terselenggara dengan baik lagi. Sukses!

Foto oleh Aloysius Nitia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment