If there is a “time machine”, will be where you want to go?
Tidak perlu tergesa untuk menjawab pertanyaan di atas. Apalagi dengan memberikan jawaban melankolis ingin memutar waktu karena kerinduan akan kenangan manis saat jaman cinta monyet, cinta putih abu-abu, atau cinta-cinta lainnya yang ingin diulang kembali. Kami sendiri punya cerita panjang mengapa memilih untuk balik pada masa-masa seperti ini jika kami punya mesin waktu. Melalui 3rd Music Gallery yang dibuat oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tema Time Machine bermaksud membawa kita bernostalgia pada perjalanan musik Indonesia. Sehingga tidak hanya suguhan yang menarik, namun juga memberi wawasan kepada pengunjung.
Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, Music Gallery dibagi ke dalam dua stage yaitu Demajors Stage dan Jansport Stage. Tepat pukul 16.30, Demajors Stage sudah dibuka oleh sejumlah band seperti Sketsa, Speak Easy, dan Tristan yang mencoba mencuri perhatian pengunjung. Sound yang terdengar kurang apik membuat sebagian pengunjung kurang tertarik untuk merapat ke muka panggung. Menjelang pukul enam sore, Annex Building mulai dipadati pengunjung dan pada jam yang sama, Jansport Stage akhirnya dibuka oleh pengisi acara pertama yaitu Plainlied, yang kemudian dilanjutkan oleh Winter Issue dan Polkawars. Tentu atas faktor susunan pengisi acara, Jansport Stage mendominasi pengunjung malam itu. Namun sayang sekali, persis seperti di bawah, di dalam pun sound terengar kurang apik. Vokal pada Polkawars terasa tenggelam sementara sound drum terlalu kuat, dan gitar sendiri baru benar-benar “muncul” di dua lagu terakhir.
Jelang pukul 19.00, si “mesin waktu” membawa kita ke dalam musik dengan warna garage rock modernmelalui duo kakak–adik dari Bekasi—The Experience Brothers. Beruntunglah, dari awal lagu dimainkansound terasa bulat. Deretan lagu berjudul “Heart Painted Black”, “Young Men” dan berakhir pada lagu “Bonzo” sangat dinikmati oleh penonton yang mulai berdiri menyaksikan permainan gitar Bram yang khas—sampai tiba-tiba setelah lagu tersebut selesai dibawakan, beberapa perempuan berteriak histeris. Ada apa? Rupa-rupanya kejutan pertama telah dimulai. Iga Massardi masuk ke panggung membawa gitar yang dipermanis dengan senyum kecil-nya. Lagu “She’s Alraight” milik The Experience Brothers dibawakan tanpa aransemen yang banyak, namun tentu berbeda karena Iga menambah kaya instrumen pada lagu tersebut. Kejutan belum selesai, The Experience Brother plus Iga medley lagu milik Black Sabbath “Iron Man”–Nirvana “Smells Like Teen Spirit” dan dilanjutkan lagu milik The White Strips “Seven Nation Army”. Bayangkan, mendengar judul lagu-nya saja sudah merinding kita dibuatnya, apalagi berada disana mendengar langsung—jelas membuat kaum adam tidak tahan untuk menggoyangkan tubuhnya. Kejutan itu akhirnya membuat suasana Upper Room seketika terasa panas. Penonton yang duduk sudut-sudut Upper Room serempak berdiri menanti kejutan lainnya.
Setelah berloncat-loncat ria, penonton bisa sedikit beristirahat lewat performa Payung Teduh. Sayang sekali, ketika lagu pertama “Untuk Perempuan yang Sedang Dipelukan” dibawakan, suara Is (vokal) nyaris hilang tak terdengar karena sound yang tenggelam. Namun beruntunglah setelah itu, susunan lagu “Cerita Tentang Gunung dan Laut”, “Angin Pujaan Hujan”, “Berdua Saja” dan “Nurlela”, sound kembali jelas. Berhenti disitu sejenak, karena kejutan kedua dimulai. Panggung Payung Teduh boleh jadi sudah ramai oleh tim backing vocal, tetapi ternyata ada satu orang lagi yang naik ke panggung bergabung bersama mereka. Ya! Ade Paloh dari Sore berjalan pelan membawa gitar-nya masuk ke dalam panggung, penonton kemudian kembali histeris senang. Tanpa banyak kata, mereka membawakan lagu “Menuju Senja”, lagu yang katanya didaulat Payung Teduh untuk Sore tersebut seperti mengajak Upper Room melihat “dua sore”. Payung Teduh kemudian menutup performanya melalui lagu “Resah”.
Akhirnya…. Ini yang ditunggu-tunggu dari sang mesin waktu untuk mengajak kita bernostalgia dengan band yang kini jarang sekali muncul di dunia pertunjukan musik lokal. Siapa lagi kalau bukan The Adams. Band yang sering mengisi pentas seni jaman dahulu membuka panggung-nya lewat lagu “Selamat Pagi Juwita”. Penonton kemudian berkaraoke masal menyanyikan lagu “Waiting”, “Kau Disana”, “Halo Beni”, “Berwisata”, dan tentu ketika lagu “Hanya Kau” dimainkan, serentak penonton yang didominasi oleh anak muda ini ikut bernyanyi terbawa nostalgia suasana putih abu-abu. Setelah “Glorious Time” dengan aransemen yang baru dibawakan, kejutan ketiga dengan cuma-cuma langsung diberikan. Ario memangil Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca) ke atas panggung, dan lagi penonton histeris. Seperti menurut The Adams dalam akun twitter-nya, adalah suatu yang jitu mengajak Cholil utuk menyanyikan lagu-nya. Lebih lagi, lagu “Konservatif” yang menjadi identitas The Adams yang dibawakan—tentu momen bersama Cholil tersebut adalah bagian favorit penonton yang membuat banyak orang menyesal tidak datang ke acara ini.
Rumahsakit tidak punya kejutan seperti tiga band sebelumnya. Namun siapa yang peduli? Bagi semua, melihat Rumahsakit di atas panggung adalah obat kerinduan yang sempurna. Semua bersama menyanyikan lagu-lagu andalan mereka. Susunan lagu malam itu masih datang dari album pertama hingga album baru mereka. Lagu “Datang”, “Anomali” “Kuning”, “Bernyanyi Menunggu”, “Sirna” dan “Sakit Sendiri”. Rumahsakit juga mengajak semua bernostalgia melalui lagu “Pop Kinetik”, dan “Hilang” yang sekaligus menjadi lagu penutup panggung mereka.
Seperti Rumahsakit, Efek Rumah Kaca tidak membawa kejutan untuk penonton. Namun bagi mereka yang belum melihat bentuk ambigu dari Efek Rumah Kaca, malam itu jadi bayarannya. Senandung dari album kedua mereka yaitu “Kamar Gelap” menjadi pembuka, yang langsung dilanjutkan dengan lagu “Aku dan Kau Menuju Ruang Hampa”. Lagu “Menjadi Indonesia” dan “Jangan Bakar Buku” malam itu dibawakan dengan format Pandai Besi. Tak ada karaoke masal, yang ada hanya penonton yang terpaku menikmati performa mereka. Sementara itu, lagu yang tidak lain dan tak bukan yaitu “Desember” dengan format Efek Rumah Kaca menjadi lagu penutup performa mereka sekaligus menutup seluruh rangkaian 3rd Music Gallery malam tersebut.
Secara keseluruhan Upper Room sungguh seperti digempur oleh kenangan-kenangan si mesin waktu. Kejutan-kejutan tersebut menurut panitia tidak diminta dengan sengaja oleh mereka, karena menurut band-band pengisi acara, ini merupakan wadah yang pas untuk mengekspresikannya. Mereka berhasil membawa kita pada suguhan yang amat luar biasa dan masih berbekas—entah sampai kapan. Pertunjukan musik lokal dengan susunan pengisi acara yang layak dicontoh, karena memang harus diakui—kita merindukan band macam The Adams dan Rumahsakit—yang jarang kita temui di gigs ibu kota.
Namun yang harus diperhatikan ialah dari segi tata suara yang kurang, karena hal tersebut merupakan suatu yang vital. Juga apabila diamati, Music Gallery tahun lalu lebih dipadati oleh pengunjung dibandingkan tahun ini. Tertariknya masa ke kota kembang atau mungkin ke lapangan sepak bola hari itu menjadi spekulasi sebagian pengunjung. Namun, siapa yang peduli dengan penuh atau tidaknya Upper Room malam itu? Semua sudah larut akan kejutan-kejutan dari atas panggung si “mesin waktu”, dan bagi mereka yang tidak datang mungkin hanya sebuah sesalan yang ada.
Jadi, apabila ditanya ingin pergi kemana jika punya mesin waktu? Jawabannya boleh jadi; datang ke 3rd Music Gallery!
Ditulis oleh Elistania dimuat di http://gigsplay.com/GigReview-detail/3rd-music-gallery-bertualang-dengan-mesin-waktu/
Foto oleh Aloysius Nitia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment