Seperti
ada yang salah?
“Apatis ria” adalah tema yang
telah banyak dibicarakan. Namun rupa-rupanya mungkin ada yang salah? Apakah
esensi dari kata tersebut? Ataukah penggunaan kata tersebut? Tidak ingin
mengawalinya dengan sebuah kutipan, tetapi ini penting—mengingat kita selalu
suka dengan hal-hal yang esensi.
Apatis diartikan sebagai sikap acuh tak acuh, sikap seseorang yang
tidak peduli karena tidak memiliki passion
terhadap sesuatu. Tetapi apakah apatis selalu berarti sikap tak acuh
terhadap isu sosial? Sebentar, lantas isu sosial yang seperti apa? Hari ini
kita hidup dengan sejuta informasi yang less
and meaning less. Rasa-rasanya sekarang semua bisa menjadi isu sosial jika
menjadi trending topic?
Sebelum menulis ini saya juga bertanya
sekaligus berkaca pada diri sendiri, apakah saya (anak muda Indonesia) yang
bersikap apatis? Kemudian muncul pertanyaan lainnya, memang indikator apa saja
yang dapat menyatakan bahwa saya (anak muda Indonesia) yang peduli terhadap isu
sosial? Ah…kita bertemu pada siklus pertanyaan yang tak habis-habis.
Peduli apa?
“Iya! Gue rasa anak muda sekarang apatis, Tan.” Jawab seorang teman
ketika saya melakukan survey kecil-kecilan sebelum menulis ini. “Udah nggak peduli
lagi sama isu-isu yang ada di TV gitu deh. Bosen. Dan nggak penting juga,
mending seneng-seneng aja deh hidup.” Tambah segelintir alasan lagi yang
memperkuat jawaban bahwa anak muda sekarang apatis.
Kalau begitu, haruskah anak muda melakukan hal-hal berbau sosial
agar tidak disebut apatis? Hari ini kita hidup dimana target-target pekerjaan
lebih penting dari sekedar ikut acara diskusi dan berpikir untuk memajukan
bangsa. Hari ini kita hidup dengan jalanan macet sebagai teman setia untuk
berkomepetisi dalam berbagai hal. Boro-boro ingat persoalan bangsa, menjalani
hidup saja sudah lelah. Namun seringkali secara tidak sadar kita selalu terbentur masalah
rasionalitas. Seringkali kita memilih “yang mana yang penting”, dan “yang mana
yang tidak penting” untuk hidup kita sendiri. Inilah yang dimaksud Franz Magnis
Suseno dalam papernya “Globalisasi dan Kearifan Lokal” yang menyatakan bahwa tantangan globalisasi ialah “pendangkalan” orang. Dengan sosial media tujuannya orang menjadi pencitraan diri dalam arti
bahwa ia semakin hanya menikmati atau memprihatinkan bagaimana ia “kelihatan”. Orang-orang dibuat menjadi sibuk memikirkan diri sendiri hanya
karena ingin dianggap “ada”. Akhirnya globalisasi, menurut Habermas, bukan menjadi sebuah pemberdayaan yang memajukan, namun justru memperlemah dan rentan untuk dimanipulasi. Membuat kita hanya fokus pada komentar-komentar singkat di sosial
media tanpa berusaha membentuk karakter yang pada nyatanya justru lebih
penting.
Tetapi pendapat teman saya di atas itu, dan juga cerita-cerita malasnya orang
mengikuti seminar atau diskusi kebangsaan—pasti adalah karena alasan. Sederhana
saja, kita menjadi skeptis dengan pemerintah. Kita terlalu lelah mendengar kata
“korupsi” di kotak 14 inchi kita itu. Sehingga akhirnya kita fokus pada bagaimana hidup kita harus berjalan. Maka pertemuan generasi muda dengan globalisasi sebenarnya tidak
melulu hal negatif. Seperti yang
dikatakan Habermas, globalisasi dengan segala
kecanggihan teknologi-nya membuat kita terfokus pada apa yang harus kita
lakukan. Tidak lagi mengadakan debat kusir, apalagi turun ke jalan untuk
tawuran atau saling membunuh karena perbedaan pendapat. Belum lagi apabila kita
melihat beragamnya komunitas yang dibentuk anak-anak muda kini mulai bermunculan, apakah
masih generasi muda saat ini pantas dibilang apatis? Kita masih memiliki banyak
anak muda yang tak perlu mengumbar di jejaring sosial, tetapi sangat peduli
dengan bangsa ini dengan caranya masing-masing. Kalau begitu, apatis juga bukan berarti
karena kita tidak ikut berpartisipasi.
Disinilah poin diskusi kita. Dosen saya pernah menulis tentang persoalan
konsep partisipasi yang menggeser dalam sistem demokrasi, tentunya ini di
Indonesia. Dalam tulisannya itu ia menyimpulkan bahwa kita yang sering
dikatakan sebagai tokoh utama dalam demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat” justru tidak pernah peduli. Kita hanya memenuhi bilik-bilik pemilu untuk memilih calon
pemimpin, namun
tidak pernah ikut mengkontrol dan mengkritisi sikap dan kebijakan yang dibuat
pemerintah. Inilah yang saya rasa mengapa
muncul kesimpulan bahwa, generasi muda saat ini apatis.
Kita seperti tak cinta pada bangsanya sendiri karena kita rela membiarkan
orang-orang besar dan berkuasa di sana menghancurkan bangsa ini. Kita hanya
sibuk sendiri dengan “pengakuan sosial” supaya dianggap ada dan hadir. Kita tidak pernah benar-benar serius peduli dalam
membentuk karakter bangsa.
Lalui Peluang dan
Tantangan
Lantas harus berbuat apa?
Saya ingin memulai bagian ini dengan satu contoh kecil. Misalnya saja ketika
kita sedang berada di angkutan umum dan melihat seorang anak membuang kulit
pisang sembarangan ke jalan. Kita tidak memberitahunya secara baik-baik, namun
malah asik sendiri tak peduli karena merasa, “yang
penting bukan anak saya.” Bukankah itu juga bentuk
sikap tak acuh? Sementara kita baru saja
me-retweet kata-kata mutiara di Twitter yang esensinya
adalah tentang “kepedulian”. Sungguh kita terlalu terlena hidup di dalam dunia maya.
Saya rasa yang harus menjadi fokus kita sebagai generasi penerus saat ini ialah betuk integritas
yang tinggi. Integritas memang tak berwujud fisik, tetapi ia merupakan
satu-satunya untuk melalui tantangan dari ketidakpedulian persoalan bangsa ini.
Anak muda tak harus melulu membuat diskusi setiap waktu untuk menyatakan
kepedulian. Tetapi dapat melakukan segala pekerjaan masing-masing dengan
integritas demi terciptanya karakter bangsa lah yang membantu membentuk karakter. Anda
boleh menjadi tukang pisang goreng, tetapi dengan integritas Anda tidak akan menggoreng pisang itu dengan
sembarangan. Itulah yang saya maksud bahwa karakter itu penting. Itu lah yang saya rasa
satu-satunya cara untuk membuat kita peduli pada
bangsa ini.
Terakhir, saya begitu takut saya menulis ini hanya karena ingin
menunjukkan saya “ada”. Saya takut menjadi menjadi apatis ketika
tulisan-tulisan yang berwarna semangat perubahan hanya menjadi dokumentasi,
lantas sikap tak acuh tetap menjadi pembahasan yang tak habis-habis, dan hanya berakhir
pada sekadar topik diskusi-diskusi klise.
Video dari BRNDLS yang satu ini, saya rasa dapat mewakili apa yang saya rasa, dan semoga semua anak muda Indonesia-yang disebut sebagai anak muda paling emas yang dimiliki Bangsa ini-dapat merubahnya dari kerakusan.
BRNDLS (Feat. Mourgue Vanguard) - ABRASI
Ditulis untuk Pamflet http://pamflet.or.id/blog/apatis-ria-tentang-partisipasi-dan-sikap-tak-acuh